Jumat, 28 Agustus 2020

Novel Anyelir dan Melati 2020

Aku menyaksikan sendiri bagaimana Adi memperlakukan Melati begitu lembut dan penuh cinta. Berbeda dengan caranya memperlakukanku. Sangat berbeda.
Ya, kami ... aku-Anyelir, Adi dan Melati terikat dalam sebuah pernikahan yang sah secara hukum dan agama.
Jika kalian bertanya siapa istri pertama Adi?
Akulah istri pertamanya.
Namun, siapa yang dicintai Adi?
Maka jawabannya adalah Melati.
Mengapa bisa begini?
Semua berawal dari perjodohan yang dicetuskan oleh orang tua Adi dan orang tuaku.
Akulah orang ketiga di hubungan Adi dan Melati. Aku hadir di antara kisah cinta mereka yang telah terjalin bertahun-tahun. Aku pun yang pada akhirnya dengan sadar mengizinkan Adi menikahi Melati, meski sejujurnya Adi tak benar-benar membutuhkan izinku.
Lalu ... apa kabar dengan hatiku?
Di suatu sore tiga bulan lalu. Tepat sebulan setelah pernikahanku dan Adi berlangsung, Adi menemuiku di kamar. Kami memang tidur terpisah, meski telah berstatus suami istri. Dan selama sebulan itu tak ada kontak fisik di antara kami, hingga detik ini. Entah, rumah tangga macam apa yang sedang kami jalani saat ini.
"Anye, aku mau bicara," ucapnya saat itu. Wajahnya seperti biasa, datar tanpa ekspresi. Dua bulan aku mengenalnya sejak pertama kali bertemu, sebulan aku hidup dengannya, belum pernah sekalipun ia tersenyum padaku.
Aku menghentikan kegiatanku membaca novel. Kutatap wajahnya sekilas, lalu beralih menatap jendela kamar yang mulai basah terkena percikan air hujan.
"Ada apa?"
"Aku akan menikahi Melati." Kata-katanya meluncur dengan lugas tanpa beban.
Aku sudah tahu siapa sosok Melati itu. Saat pernikahan kami berlangsung, ia datang. Sepupu Adi yang memberitahukubetapa berharganya wanita itu bagi Adi.
Aku kembali menatapnya. Kali ini sedikit lebih lama. Mencoba menggali celah keraguan di sana. Ah, tapi setelahnya aku sadar, Adi bukan sedang bertanya melainkan membuat pernyataan yang tak membutuhkan jawaban.
"Nikahi saja dia," jawabku kemudian. Aku sadar, aku baru saja mengatakan hal yang mungkin untuk sebagian wanita begitu menyakitkan.
Dimadu.
Meski Allah memang memperbolehkan. Namun, dengan cinta Adi yang begitu besar pada Melati, jelas akan membuat sikapnya lebih condong pada Melati. Dan hari-hariku akan dihiasi dengan sikapketidakadilannya pada kami. Tapi aku bisa apa? Selain setuju.
Saat Ayah dan Bunda mengutarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengan Adi. Aku hanya bisa terdiam. Meski hati memberontak, namun bibir mengatup rapat. Karena aku sadar siapa diri ini di keluarga mereka.
Aku-Anyelir yang saat ini menginjak umur 22 tahun dan menyandang gelar sarjana ekonomi, hanyalah anak angkat. Ayah dan Bunda yang selama ini kukira adalah orang tua kandungku, ternyata bukan. Mereka yang memiliki hati seputih kertas, dua puluh tahun lalu mengadopsiku dari sebuah panti asuhan.
Dan keputusanku menerima perjodohan ini, kuanggap sebagai salah satu balas budiku pada Ayah dan Bunda, selaku orang tua angkatku. Orang tua yang dengan ikhlas dan penuh kasih membesarkanku hingga aku bisa berdiri tegak dan sanggup menghidupi diriku sendiri.
"Dengan atau tanpa ijinmu, aku akan tetap menikahinya. Kamu tentu tahu, sebelum pernikahan bodoh ini terjadi, kami sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Jadi ... aku harap kamu mengerti posisimu."
Aku masih menatapnya. Tidakkah Adi berbelas kasihan padaku sedikit saja?
"Aku mengerti ... hanya saja aku memikirkan ke dua orang tua kita. Mereka pasti ...."
Adi dengan cepat memotong perkataanku.
"Rahasiakan ini dulu dari orang tuamu. Mereka tidak akan tahu jika kamutidak mengatakannya. Untuk orang tuaku, biar aku yang mengurusnya."
Aku mengangguk samar. Tak mampu lagi berkata-kata.
"Melati juga akan tinggal di sini. Jadi, aku minta kamu bisa bersikap baik padanya."
Setelah mengatakan itu, Adi pergi. Meninggalkanku dengan perasaan yang aku sendiri tak mampu menggambarkan.
Kami baru saja menikah sebulan lalu karena perjodohan. Dan suamiku baru saja mengatakan akan menikahi kekasihnya. Meski belum ada cinta di antara kami, tapi bolehkah aku mengatakan jika aku terluka?
Melati dengan telaten menyuapi Adi yang tengah terbaring di ranjang. Suami kami itu sudah terbaring selama tiga hari. Penyakit lambungnya kambuh. Berawal dari seringnya ia telat makan dan stres yang lalu membuatnya tumbang.
Kami sudah menyarankan agar ia dirawat saja, namun ia bersikeras untuk tetap di rumah. Memilih memanggil dokter untuk memeriksanya dan perawat untuk mengganti botol infusnya jika habis.
“Sudah cukup." Itu suapan kelima dari tangan Melati. Adi mungkin sudah merasa kenyang atau mungkin saja mulutnya belum enak makan.
“Tapi ini baru sedikit, Di." Melati memprotesnya.
"Aku kenyang, Sayang."
Aku mendengarnya, karena aku memang duduk di sofa di dekat jendela kamar mereka. Mengamati gerak-gerik suamiku dan maduku sejak tadi.
Sayang ...
Kata ajaib yang entah kapan Adi akan mengucapkannya untukku.
Sakit? Jangan tanyakan lagi. Sudah tiga bulan kami menjalani pernikahan poligami ini. Aku mungkin sudah terbiasa dengan rasa sakit yang aku tahu tanpa sengaja mereka ciptakan.
Melati wanita baik. Kami hidup rukun sejauh ini. Wanita itu, dengan tinggi lebih sepuluh senti dariku, wajahnya ayu, pandai memasak dan selalu tersenyum.
Aku mengaguminya. Aku mendengar sendiri bagaimana ia meminta Adi untuk tidur denganku. Meminta Adi untuk sedikit perhatian denganku.
Namun, Adi tetaplah Adi. Ia adalah pria keras kepala. Ia tak akan menyentuh apa pun yang tak di sukainya. Termasuk aku, mungkin.
"Sudah selesai ya." Aku beranjak, mendekati Adi dan Melati. "Biar aku bawa ke dapur." Aku mengambil piring dari tangan Melati.
"Makasih, Nye."
Aku mengangguk sekilas lalu pergi dari kamar itu. Kucuci piring bekas makan Adi tadi. Meletakkannya di rak piring. Kemudian berjalan menuju kamar mereka lagi.
Langkahku melambat dan terhenti. Samar-samar aku mendengar pembicaraan Adi dan Melati.
“Di, jangan terlalu acuh dengan Anye. Dia juga istrimu." Itu suara Melati.
"Kamu tahu kan Mel, aku tidak mencintainya."
Aku menyandarkan tubuhku di dinding kamar. Mendengarkan baik-baik percakapan mereka.
"Iya, tapi syarat poligami itu salah satunya harus bisa bersikap adil. Dan kamu sekarang ini sedang tidak bersikap adil. Aku takut terkena dosanya juga, karena tidak bisa menasihatimu, Di."
Lihatlah, betapa bijaksananya Melati. Pantas saja Adi begitu mencintainya. Aku memilih pergi dari kamar itu, melangkah menuju kamarku sendiri.
Kami tinggal di sebuah rumah berlantai dua. Orang tuaku dan orang tua Adi sama-sama tinggal di Bandung. Kami sendiri tinggal di Bekasi. Aku memang merantau ke kota ini sejak awal lulus kuliah. Adi sendiri sibuk dengan usaha distro dan kafenya yang beberapa cabangnya sudah tersebar di Bandung, Bekasi dan Jakarta.
Kulepaskan kerudung yang menutupi kepalaku, yang meski di dalam rumah selalu kupakai termasuk di depan Adi.
Kupandangi wajahku yang ditumbuhi beberapa butir jerawat di dahi dan pipiku. Aku merabanya, jerawat besar yang tidak disentuh pun akan terasa sakit. Menambah poin ke tidak-cantikkan di wajahku kian meninggi.
Tanganku kemudian bergerak mengambil obat jerawat yang teronggok di meja rias di depanku. Untuk selanjutnya mengoleskannya pada butiran-butiran jerawat yang sudah setia menemaniku sejak haid pertamaku saat aku masih duduk di bangku SMP.
"Anye." Melati melongokkan wajahnya dari sebalik pintu.
"Iya Mel?" Aku segera memakai kembali kerudungku.
Melati melangkah mendekatiku.
"Aku mau pergi, ada urusan sebentar. Titip Adi ya," katanya.
Aku mengamati penampilannya yang telah rapi. Wanita cantik dengan pipi mulus tanpa noda itu, menggunakan gaun terusan selutut warna kuning. Kakinya dialasi flatshoes dengan warna senada dengan baju. Rambutnya dibiarkan tergerai. Tas kecil yang bertaburan mute yang tersampir di lengan kanannya, melengkapi penampilannya.
Satu kata untuknya. Cantik.
"Iya," aku menjawab singkat.
"Ya sudah. Aku pergi." Melati melangkah pergi meninggalkanku di kamar ini dengan perasaan iri bercokol di hati.
Aku segera mengambil gawai dan novelku lalu melangkah menuju kamar mereka. Kamar di mana Adi tengah berbaring. Kamar di mana suami dan maduku tidur bersama.
Aku mendapati Adi tengah tertidur pulas. Mungkin efek dari obat yang baru saja diminumnya. Aku melirik jam yang terpasang di dinding kamar. Masih pukul delapan pagi. Dan sekarang adalah weekend, jadwalku libur kerja. Sejujurnya aku ingin pergi, sekedar makan di luar untuk menyegarkan pikiran. Tapi apalah daya, nyatanya keadaan membuatku harus bertahan berada di satu ruangan dengan pria yang statusnya sebagai suamiku namun tak pernah menganggapku istrinya. Begitu yang kurasakan selama ini.
Kubuka gawaiku. Membaca pesan yang baru saja masuk.
Marta
Nye, besok ada meeting jam 7 pagi.
Pesan dari Marta, rekan kerjaku. Aku segera membalasnya, OK.
Aku bekerja sebagai staf gudang di sebuah pabrik garmen. Sudah satu tahun aku bekerja di sana. Dan Marta adalah satu-satunya sahabatku. Kami sering menghabiskan waktu bersama, untuk sekedar nongkrong kafe atau pun bergelung di balik selimut saat weekend setelah malamnya kami menonton drakor secara maraton.
Aku kembali menekuri novel milik Bunda Asma Nadia berjudul Surga Yang Tak Dirindukan. Kisah yang mungkin hampir sama dengan kisah pernikahanku. Setidaknya aku butuh referensi di kehidupan rumah tanggaku. Meski yang paling tepat kita mencontoh kehidupan Rasulullah, tapi tak apa kan kita membaca kisah yang ditulis oleh manusia biasa?
Setidaknya aku punya gambaran.
Jam sudah bergerak menunjuk pukul sembilan pagi. Dan itu artinya aku sudah menemani orang tidur selama satu jam. Aku sendiri masih fokus dengan novelku.
Merasa netraku mulai lelah, aku beralih menatap pekarangan rumah bagian belakang. Di sana terhampar taman mungil di samping kolam renang. Lalu mengamati sudut taman di mana terdapat gazebo yang menjadi tempat favoritku selama di rumah ini.
Tempat di mana aku sering menghabiskan waktu seorang diri. Menangis, tertawa, bahkan tak jarang aku sering ketiduran di sana.
Aku menoleh pada Adi yang samar kulihat bergerak kecil. Pria itu menggeliat. Dia lantas membuka matanya perlahan.
"Apa yang bisa kubantu?"
Adi terlihat memosisikan dirinya bersandar di kepala ranjang. Aku masih diam di tempatku, hanya mengamatinya.
"Melati mana?"
Bahkan menjawab pertanyaanku saja, dia enggan.
"Belum pulang."
Hening. Aku masih di tempatku dan Adi entah tengah memikirkan apa, ia hanya menatap langit-langit kamar.
Kali ini aku membuka gawai. Melihat akun IG-ku. Entah ingin melihat apa, jariku hanya menggulir layar dengan gerakkan naik turun dan sesekali bergeser ke kanan maupun ke kiri.
Saat bersama Adi, aku mendadak menjadi wanita pendiam. Lagi pula percuma juga bicara jika diacuhkan.
Adi menurunkan kakinya. Ia berdiri perlahan.
"Mau ke mana?"
Adi masih diam. Tapi, langkahnya perlahan menuju kamar mandi yang masih menyatu dengan kamar.
Aku berjalan mendekati, hendak membantunya. Namun, belum juga tanganku menyentuhnya, aku melihat gerakkan tangannya yang tak ingin dibantu.
Aku diabaikan lagi. Aku mematung di tempat, membiarkannya menuju kamar mandi seorang diri.
Aku masih saja berdiri di tempat tadi Adi menolakku, entah apa salah dan dosaku hingga mendapatkan suami macam Adi.
Adi tidak kasar secara verbal dan fisik. Hanya ia terlalu abai terhadapku. Membuatku seperti sosok tak kasat mata di hadapannya.
Adi keluar. Perlahan melangkahkan kaki menuju ranjangnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya. Mengabaikanku, yang masih memperhatikannya sejak tadi.
"Melati yang memintaku menjagamu." Akhirnya aku bicara. Mencoba setenang mungkin, menahan gejolak amarah yang mulai merongrong rongga dadaku.
"Aku bisa sendiri." Adi menjawab tanpa melihatku.
"Baik."
Aku berbalik menuju sofa. Mengambil gawai dan novelku lalu meninggalkan kamar, berjalan ke kamarku yang berada tepat di samping kamarnya.
Brakk!
Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku.
Meski aku tahu, itu percuma.
Braakk!
Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku.
Meski aku tahu, percuma.
Aku tertidur hingga kudengar suara azanzuhur berkumandang setelah menahan kemarahanku pada Adi.
Ah, mengingat laki-laki itu membuatku frustrasi. Haruskah aku mengatakan tentang semua ini pada Ayah dan Bunda?
Aku menggelengkan kepala. Meyakinkan diri untuk tetap melanjutkan pernikahan yang-kata-Adi-bodoh ini. Biarlah aku merana asal orang tuaku bahagia. Hidup bukan sekedar membahagiakan diri sendiri bukan?
Aku beranjak melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka, berkumur, menatap pantulan wajahku di cermin sebentar lalu mulai berwudu.
Aku bukan wanita super religius tapi aku tahu kewajibanku sebagai Muslimah.
Shalat membuatku merasa lebih tenang dan damai. Yang di akhir salam aku bisa mencurahkan segala bentuk masalah yang tengah kuhadapi pada Sang Pemilik Hidup-Allah.
Selesai melipat mukena lalu meletakkannya kembali di atas nakas. Aku keluar kamar bermaksud mengambil minum.
Baru saja kakiku menginjak tangga nomor pertama, sebuah pemandangan yang tak mengenakkan menyapaku.
Adi tengah tiduran di pangkuan Melati. Sedang Melati dengan lembut membelai rambutnya.
Kuhembuskan napas berat, menyiapkan hati untuk melanjutkan langkah menuju dapur yang harus melewati dua sosok di ruang tengah ini.
Melati melihat ke arahku begitu menyadari kehadiranku. Ia tersenyum.
"Nye."
"Sudah pulang, Mel?"
"Sudah, aku beli makanan untukmu. Makanlah."
Aku yang masih berdiri di samping sofa melihat sekilas ke arah meja makan yang tak jauh dari sini. Ada bungkusan plastik terdampar di sana.
"Makasih."
Tanpa menunggu jawaban dari Melati, kulangkahkan kaki menuju lemari pendingin. Mengambil sebotol air. Meraih gelas di rak lalu menuju meja makan.
Sekilas kulihat Adi dan Melati yang saat ini sudah merubah posisi. Adi sekarang duduk bersandar di sofa. Dan baruku sadari, selang infus sudah tak terpasang lagi di tangannya.
Mungkin sudah dilepas tadi sewaktu aku tidur tadi. Turut senang karena Adi ternyata telah sembuh. Itu artinya aku akan kembali mendengar suara khas Melati di malam hari. Suara yang membuat bulu kudukku merinding.
Kalian tahu maksudku kan?
Kubuka bungkusan di hadapan. Ayam goreng kalasan, lengkap dengan lalapan dan sambal. Setelah minum, kumakan juga makanan yang dibelikan maduku ini.
"Aku mau teh, Sayang." Kudengar Adi berbicara.
"Sebentar ya." Itu suara Melati. Ia beranjak dari duduknya. Melangkah menuju dapur.
Aku diam, pura-pura saja tak mendengar percakapan mereka.
"Nye, kamu mau teh juga?" Melati menawariku. Kulihat tangannya tengah sibuk memotong lemon. Adi memang suka lemon tea.
"Nggak, Mel. Makasih," tolakku.
Hening.
Melati telah selesai membuatkan pesanan Adi. Aku sendiri telah selesai makan. Setelah membuang bungkus makanan, meletakkan kembali botol minum lalu mencuci tangan dan gelas. Aku kembali melewati dua orang yang sejak tadi kudengar tertawa dengan renyah.
"Sini Nye!" Melati memintaku bergabung dengannya dan Adi.
Aku melirik Adi sekilas. Pria itu fokus menatap layar yang tengah memutar adegan romantis film Titanic. Film kesukaan Melati. Entah sudah berapa kali maduku itu menontonnya.
"Aku mau pergi."
"Mau kemana?"
"Ngademin pikiran," jawabku jujur. Kutinggalkan dua orang itu, tanpa menunggu tanggapan mereka.
Masih bisa kudengar Adi berbicara rencananya ingin memiliki anak.
"Kita akan punya anak lima."
Tanpa bisa kucegah, ada yang berdenyut nyeri di dalam sana.
"Besok jangan sampai telat, nanti kamu kena semprot si bos lagi." Marta mengingatkanku.
Kami tengah duduk berdua di kafe yang menyatu dengan gedung toko buku terbesar di kota ini.
Tidak sengaja ketemu, aku sedang mencari novel yang menurutku menarik saat tiba-tiba seseorang menepuk bahuku pelan. Marta, gadis ayu dari Medan yang menjadi rekan kerja sekaligus sahabatku, tersenyum. Dan setelahnya kami duduk di sini sekarang.
Tadinya aku berpikir akan duduk sendiri di kafe ini. Berteman novel. Dan hujan yang masih intens menyapa bumi.Tapi Tuhan mengirimku seseorang. Marta si gadis semampai dengan rahang dan suara keras. Darah bataknya mengalir sempurna di tubuhnya.
"Iyetau," jawabku sembari menyomot donat yang tersaji di meja. Lalu memasukkannya ke mulut.
"Bang Simon melamar aku kemarin, Nye." Marta mengatakannya dengan wajah berbinar.
Aku pun tak kalah senang mendengarnya.
"Alhamdulillah!" responsku antusias. "Kelihatannya, dia orang yang tanggung jawab."
"Semoga." Aku menggenggam tangannya erat. Berusaha meyakinkan tentang pilihannya. Jika Simon memang benar-benar berbeda, dalam arti kata lebih baik dari Adi.
"Masih mau bertahan?" Marta tahu semuanya tentang pernikahanku. Aku selalu bercerita apa pun padanya.
"Apa ada pilihan lain. Apa aku boleh egois, Ta?" Ada rasa keputus-asaan di ucapanku.
Marta mengembuskan napas pelan. "Terkadang memikirkan perasaan sendiri itu perlu, Nye. Kamu berhak bahagia."
“Dengan mengorbankan perasaan orang tuaku?"
Di kampungku perceraian adalah aib. Aku tentu tak ingin mengotori wajah orang tuaku.
"Mereka pasti akan mengerti. Bicaralah dengan orang tuamu. Jangan pikul beban ini sendiri, Nye." Aku mengerti Marta menginginkanku bahagia.
Sore itu aku pulang ke rumah dengan ucapan Marta yang masih terngiang-ngiang di kepala. Hingga malam saat mataku, kupaksa terpejam.
☆☆☆
Hari-hari berikutnya masih sama. Aku sibuk bekerja dan Melati pun sama. Maduku itu bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan Adi, sudah dua hari ini, suami kami itu berada di Bandung. Mengawasi cabang baru kafenya.
Kalau untuk itu, aku turut senang. Sejauh ini, Adi selalu memberiku nafkah lahir secara cukup. Itu salah satu alasan aku masih bertahan di sisinya.
"Nanti sore Adi pulang," ucap Melati memberi tahu. Kami sedang sarapan bersama. Pukul 6.30 pagi saat ini.
Aku melihat Melati sekilas. Lalu kembali fokus pada nasi goreng di depanku.
“Aku mungkin akan pulang malam." Aku memilih tak menanggapi ucapan Melati tentang kepulangan Adi.
Buatku itu bukan sesuatu yang perlu atensi berlebih, karena seperti yang sudah-sudah, Adi hanya akan membelikan buah tangan untuk Melati.
“Mau ke mana?" Melati menatapku penasaran.
"Ada perlu," jawabku singkat.
"Hati-hati saja, kalau gitu." Aku melihatnya, berkata sembari tersenyum.
Sejujurnya aku benci saat Melati memperlakukanku dengan baik seperti ini. Tidakkah ia ingin memiliki Adi seutuhnya dan menyingkirkanku?
Wanita itu selalu bersikap baik. Meski aku secara sadar sering berkata dingin padanya.
☆☆☆
Aku memarkirkan motor di rumah Adi tepat saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam.Sepulang kerja aku menemani Marta berbelanja keperluan pernikahannya. Semua atas permintaan Simon. Dan aku dengan senang hati melakukannya, tentunya. Jadilah, hingga malam aku baru tiba di rumah.
"Dari mana?" Suara berat itu menyapaku tepat saat aku akan memasuki pintu kamar.
“Pergi dengan Marta."
“Sampai malam begini?"
Aku menatapnya heran. Kuyakin dahiku saat ini tengah berkerut indah. Tumben sekali Adi menanyaiku seperti ini.
"Iya." Aku berbalik badan, bersiap masuk, saat detik berikutnya ucapan Adi menahan lajuku.
"Aku belum selesai bicara."
Aku menoleh. Menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Besok kita pulang ke Bandung. Ibu sakit."
Ibu yang dimaksud adalah Ibu mertuaku.
"Sakit apa?"
“Darah tingginya kambuh." Adi menjawab dengan pelan. "Besok kita berangkat pagi. Jadi, siapkan barang-barangmu malam ini juga."
“Melati juga ikut?" Meski ragu akhirnya kulontarkan juga pertanyaan ini.
Adi menatapku tajam. "Apa perlu aku jawab?"
"Aku hanya memastikan. Karena setauku, istrimu itu dia. Aku di sini bukan siapa-siapa." Aku mengucapkan apa yang selama ini mengganjal di hati.
Adi terdiam. Kami saling melempar tatapan tajam.
"Aku akan pulang ke rumah Mama. Sudah waktunya mereka tahu tentang semua ini."
"Jangan bertingkah. Ibuku sedang sekarat, kamu ingin melihatnya meregang nyawa!" Kilat amarah tergambar jelas di wajah Adi.
"Dan kamu ingin aku mati perlahan karena terus menerus tidak dianggap istri olehmu, begitu?"
Adi terdiam. Perlahan tatapan tajamnya memudar. Meski masih sama dinginnya.
"Kenapa diam?"
“Kamu ingin aku anggap sebagai istri?" Kali ini Adi tersenyum menyeringai. Senyuman yang menurutku menyeramkan.
“Apa maksudmu?"
Adi mendorongku masuk ke kamar. Masih dengan seringainya ia mengunci memutar kunci perlahan.
"Kamu yang memaksaku melakukan ini."
Aku berdiri mematung tak jauh dari Adi. Hingga pria itu berjalan mendekat. Menarik tubuhku cepat menempel ke tubuhnya. Otakku mendadak buntu tanpa berusaha mencegah saat Adi kemudian menempelkan bibirnya di bibirku dengan kasar.
Aku mengerjap beberapa kali. Tak percaya dengan apa yang Adi perbuat. Lalu, tangan Adi yang kini meraba dadaku membuatku tersadar akan apa yang terjadi. Mendadak aku merasa takut, Adi akan mengambil haknya secara paksa. Meski selama ini aku memimpikannya, tapi jelas saat ini aku tak rela, karena kutahu Adi sedang emosi.
Aku ingin kami melakukannya atas dasar cinta.
Aku mendorongnya sekuat tenaga, meski hal itu tak membuatnya menjauh dariku.
"Mmmmmppphhh ...." Aku ingin bicara di tengah ciuman kasar Adi. Tapi yang kudengar justru suaraku yang mirip dengan suara-suara Melati di malam hari.
Kucoba menghalangi gerakan tangannya yang semakin bergerilya dengan liar. Kancing kemejaku bagian atas sudah terlepas. Kini tangannya benar-benar menyentuh tubuhku. Tubuhku merespons, ada perasaan menolak sekaligus menerima secara bersamaan.
Adi mendorongku jatuh ke ranjang. Bibir kami masih bertautan. Kurasakan tangannya kini sudah sampai ke perut. Semakin ke bawah. Mencari kancing celana bahanku.
Tanganku seketika mencoba menghentikannya. Namun gagal. Adi berhasil membuka dan menurunkan hingga sebatas paha.
Kucoba menghentikan aksinya dengan menarik rambutnya keras. Berhasil. Adi melepaskan ciumannya. Kami saling menatap. Kulihat gairah telah mengurungnya.
Aku menggeleng pelan. Mataku telah basah, menahan air mata yang ingin melesak keluar.
Adi memejamkan mata. Lalu bangkit dari atas tubuhku dan duduk di bawah kakiku.
Seketika perasaan lega menghampiriku. Aku mengikutinya duduk. Meraih selimut untuk menutupi tubuhku yang terbuka karena ulahnya.
"Aku tidak ingin kamu melakukannya karena emosi. Terlebih lagi tanpa cinta," kataku lirih.
Adi menatapku sekilas lalu meremas rambutnya kasar.
"Karena jika sampai aku mengandung anakmu dan ternyata kamu belum mencintaiku, itu hanya akan membuatku semakin terluka."
"Kamu mau aku bagaimana?"
“Tanyakan itu ke hatimu. Seberapa penting aku di hidup kamu?"
Tepat pukul tujuh pagi Aku dan Adi telah bersiap menuju Bandung. Selesai sarapan bersama, Melati mengantar kami hingga ke teras.
"Hati-hati ya," pesannya pada kami dengan senyum yang tak pernah luput ia tampilkan.
Adi memeluknya erat. Seperti tak ingin berpisah dengan istri kesayangannya itu.Aku? Tentu saja aku merasa sedikit kesal.Melati mengurai pelukan mereka lebih dulu. Mungkin karena merasa tak enak dengan wajahku yang mulai cemberut."Kamu juga hati-hati di rumah. Kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Adi. Tangannya masih menggenggam jemari Melati.Melati mengangguk patuh. Kemudian pandangannya beralih padaku, "Nye, titip Adi ya."Aku sebal Melati mengatakan kalimat itu lagi. Seolah-olah aku ini babysitter-nya Adi."Tergantung orangnya," jawabku. "Terakhir kamu bilang begitu waktu dia sakit. Nyatanya dia nggak butuh bantuanku. Jadi kali ini, aku yakin dia juga nggak butuh bantuanku, karena dia benar-benar sehat," ujarku menatap Adi kesal kala mengingat kejadian waktu itu.Adi menatapku tak suka. Sementara Melati masih saja tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran atau apa dengan sikapku dan Adi yang seperti bocah."Di ... ingat dia juga istrimu." Aku tersenyum getir mendengar kalimat itu."Hm.""Ya sudah, sana berangkat. Kasihan Ibu sudah menunggu."Aku dan Adi akhirnya berangkat menuju kota kembang. Kota di mana aku terlahir dan dibesarkan. Aku telah menghubungi bosku, meminta cuti dua hari untuk perjalanan ini.Satu jam perjalanan kami sama-sama terdiam. Aku menyibukkan diri dengan gawai di genggaman. Membuka sosmed, membalas pesan dari bosku dan Marta lalu beralih berselancar di youtube. Sesekali kulirik Adi yang fokus kejalanan.Adi memang memesona. Kulitnya putih bersih. Hidungnya tegak berdiri. Mata kecokelatan dengan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak sixpack tapi cukup ideal. Bahunya yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat maco. Setidaknya, begitu menurutku."Kenapa? Aku tampan ya," katanya penuh percaya diri. Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.Aku menghentikan aksiku memandanginya. Kualihkan kembali wajahku pada layar gawai tanpa membalas ucapannya."Kenapa diam saja?""Nggak apa-apa.”"Kamu lapar?"Aku menatapnya heran. "Nggak."Please Di, kamu nggak perlu pura-pura peduli."Nanti ... bersikaplah sewajarnya seperti seorang istri." Adi menasihatiku seolah dirinya tanpa cacat. Lupakah dia, bagaimana dia memperlakukanku selama ini?"Bukannya kamu yang selama ini nggak menganggap keberadaanku.”Aku balik menyerangnya."Berhenti menyela saat aku sedang bicara, Anyelir. Tidak bisakah kamu menjawab iya!""Tidak bisakah kamu menganggapku sebagai istri sungguhan? Apa kamu tahu rasanya berkali-kali diabaikan? Kamu itu egois, Adi! Kamu memperlakukan Melati begitu baik. Tapi denganku kamu ....""Cukup!" Bentaknya lagi."Kamu laki-laki nggakberperasaan yang pernah kutemui. Aku semakin yakin akan mengurus perceraian kita.""Jangan macam-macam kamu!""Sebutkan alasan yang tepat untukku mempertahankan pernikahan bodoh ini." Aku menatapnya tajam."Setidaknya tunggu sampai Ibu pulih, Anyelir.""Baik. Selama aku menunggu aku akan kos sendiri. Sudah cukup rasanya aku menyaksikan keromantisan kalian."Tak disangka, Adi tersenyum. Senyum mengejek lebih tepatnya."Jadi, kamu cemburu?""Cemburu terlalu mahal kulakukan untukmu. Aku hanya tidak suka diperlakukan berbeda.""Kamu tentu tahu alasannya mengapa aku begini."Aku tahu ... Adi hanya mencintai Melati, namun tidak denganku."Baik. Aku pastikan kita akan bercerai secepatnya." Aku berkata penuh keyakinan.Lagi, Adi tersenyum mengejek. "Lakukan sesukamu, tapi tunggu sampai Ibu benar-benar pulih."Dua setengah jam perjalanan kami sampai di rumah Ibu mertuaku. Kami turun dengan membawa serta barang bawaan kami."Selamat siang A adi, Teh Anye." Teh Fitri, ART di rumah Ibu menyambut kami ramah.Tangannya dengan cekatan mengambil alih barang bawaan kami. Membawanya masuk ke dalam.Aku dan Adi bergegas memasuki kamar Ibu setelah mencuci tangan dan kaki.Terlihat Ibu tengah berbaring dengan mata terpejam. Tangan kanannya terdapat selang infus. Di sampingnya Bapak tertidur dengan posisi duduk dengan kepala bersandar di kasur."Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanyaku pada Adi."Bapak maunya dirawat di rumah."Bapak terbangun mendengar kedatangan kami. Berdiri dari duduknya, ia memeluk kami bergantian sembari tersenyum."Istirahat dulu. Kalian pasti lelah," saran Bapak yang kembali duduk di samping Ibu."Nanti. Pengin lihat Ibu dulu, Pak."Adi berdiri di samping Bapak lalu mencium kening Ibu lembut. "Maafin Adi, Bu. Adi baru sempat kesini," ucapnya lirih.Baru kali ini aku melihat wajah sedih Adi. Sisi lain dari Adi yang membuatku tersentuh tapi sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku untuk berpisah darinya."Bapak sudah makan?"Bapak menatapku sembari tersenyum kecil, "sudah, Neng," jawabnya pelan. "Neng istirahat dulu saja. Nanti kalau Ibu bangun, bisa kesini lagi."Aku mengangguk patuh. Lalu meninggalkan kamar Ibu, menuju kamar di mana Teh Fitri meletakkan barang bawaanku. Tentu saja akan menjadi kamar tidurku dan Adi selama dua malam ke depan. Tidak mungkin juga kami tidur terpisah.Aku memutuskan untuk tidur. Perjalanan 2,5 jam cukup membuatku merasa kelelahan. Belum lama rasanya aku terlelap, terdengar pintu dibuka oleh seseorang.Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan dan mendapati sebuah wajah yang begitu kukenal berada tepat di depan wajahku."Mau apa kamu?" Aku terlonjak kaget. Duduk seketika dan menjauh darinya.Adi berdecak dengan raut wajah masih tak bersahabat. "Tidur di sofa. Ini ranjangku."Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurku. Mengerjap tak percaya dengan pendengaranku."Cepatlah, aku ingin istirahat. Tunggu apa lagi," usirnya lagi."Maksud kam--""Ck. Kamu belum paham juga? Maksudku kamu tidur di sofa sana." Adi mengarahkan dagunya pada sofa di dekat jendela. "Ini ranjangku, jadi yang berhak tidur di sini tentu saja aku."Aku menatap tak percaya pada pria di depanku ini. Sungguh Adi benar-benar pria tak berperasaan. Baiklah, aku mengerti ia tak menginginkanku dihidupnya, tapi bukan berarti ia menyuruhku tidur di sofa, sedangkan ia dengan nyaman tidur di ranjangnya.Jika Adi tak menganggapku sebagai istrinya, anggaplah aku sebagai seorang wanita yang mungkin akan merasa tidak nyaman tidur di sofa.Aku memilih diam tak menanggapi ucapannya dan segera beranjak menuju sofa.Dan tanpa bisa kutahan lagi. Butiran bening meluncur bebas dari sepasang mataku.Iya ... selemah ini memang diriku.Aku menyuapi dengan telaten Ibu mertuaku. Beliau sudah lebih baik sekarang. Sudah bisa duduk dan berbicara meski kurang begitu jelas.Adi duduk di bibir ranjang di bawah kaki Ibu. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali sinetron kesukaan Ibu, Tukang Ojek Pengkolan. Aku memilih menjadi pendengar.Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Adi pada Ibu, pasti aku tak percaya jika orang lain mengatakannya.Aku merasa Adi memiliki kepribadian ganda. Yang sewaktu-waktu sikapnya bisa berubah seketika.Pukul sembilan malam, setelah makan malam dan salat Isya, kami memasuki kamar. Aku yang tahu diri langsung saja duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan gawaiku. Dan Adi kulihat tengah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Jemarinya sibuk menari-nari di layar gawainya.Bisa kutebak, saat ini Adi sedang ber-chat ria dengan Melati.Aku meng-uploadsebuah foto siluet diriku di pantai saat melihat sunset ke akun sosmedku. Mengetikkan sebuah caption yang memang menggambarkan isi hatiku malam ini.Jika tak bisa membuatnya bahagia. Setidaknya jangan membuatnya menangisSetelahnya aku memilih meletakkan ponsel di nakas dan berbaring.Berharap esok hari semua kesakitan ini akan menghilang.Aku terbangun pukul tiga pagi. Hawa dingin begitu menusuk hingga ke tulang, membuatku enggan melangkahkan kaki untuk mengambil wudu.Setelah berperang dengan diri sendiri, akhirnya dengan langkah berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melewati ranjang di mana Adi tertidur, sekilas kulirik pria itu yang tengah terlelap dengan memeluk guling. Dengkuran halus terdengar di pendengaranku.Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Gosok gigi, lalu mengambil wudu.Selesai salat aku bertadarus. Membaca surat Ar-Rahman membuat batinku gerimis. Surat yang bermaknaseolah menamparku untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun.Bersyukur ketika masih diberi hidup layak meski tak sering diabaikan oleh Adi."Sodaqallahul'adzim." Kupeluk dan kuciami penuh syahdu mushaf ber-cover keemasan ini. Obat dari segala kegundahan, penawar dari segala kesulitan."Sudah bangun?"Suara Adi menahan tanganku untuk membuka mukena. Aku menoleh, pria itu sudah duduk bersandar di kepala ranjang, tengah menatapku."Iya." Aku menjawab singkat.Seketika aku ragu akan melepas mukena di depannya. Bukan apa-apa, hanya sering diabaikan membuatku menganggap Adi seperti orang asing. Jadi, aku merasa enggan menampakkan kepalaku tanpa kerudung."Belum selesai?" Adi bertanya dengan bingung. Mungkin karena melihatku yang justru melamun."Sudah.""Kenapa tidak dilepas?"Aku menggigit bibir bawahku. Bingung harus menjawab apa. Rasanya tak mungkin aku bilang malu pada suamiku sendiri memperlihatkan kepalaku tanpa tertutupi kerudung."Itu ....""Malu karena ada aku?" tebaknya. Adi beranjak dari ranjang dan berjalan menghampiriku."Aku suamimu, bukan?" tegasnya saat sudah di depanku.Aku menatapnya. Adi Hutomo Putra, ia tengah tersenyum kecil padaku."A—ku...." Bibirku mendadak kaku untuk berkata-kata."Aku berhak melihatnya bukan?"Aku mencoba mengartikan perkataan Adi. Ah, mungkinkah ia sedang diselimuti gairah? Mendadak aku bergidik ngeri. Hampir setiap malam yang kutahu Adi melakukannya dengan Melati. Mungkinkah ia kini ingin melakukannya denganku karena tak ada Melati di sisinya?"Di atas kertas dan atas nama pernikahan, kamu memang berhak melihatku tanpa kerudung bahkan tanpa sehelai benang pun. Tapi itu hanya akan terjadi ketika kamu menganggapku sebagai istri," kataku dengan tenang.Adi meraup wajahnya kasar. "Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, Anyelir.""Kalau begitu tutup matamu atau keluar sebentar selama aku memakai kerudung," usirku.Adi membelalakkan mata. Menggeleng pelan lalu hendak berbicara tapi aku menyela lebih dulu."Pergi."Air muka Adi berubah kesal."Kamu pikir aku nggak bisa memasakmu melepaskan ini?" Adi berusaha melepaskan mukena dari kepalaku secara paksa."Adi ...." Aku mendesis kesal mencoba menahan tangan Adi yang dengan lancang berusaha melepas mukena yang tengah kupakai.Adi mencengkeram kedua tanganku agar tak mengahalangi niatnya. Dengan sekali sentakan, mukena yang kukenakan terlepas dari kepalaku. Memperlihatkan rambut panjangku yang tergerai bebas.PLAK!Reflek aku menampar keras pipi sebelah kanan Adi."Lancang kamu!" umpatku. Meski Adi suamiku, tapi aku tak terima dengan kelakuannya tadi.Adi terlihat murka. Tangannya melayang diudara hendak menamparku balik, aku diam saja, menunggu. Jika tangan itu berhasil menyentuh pipiku, kupastikan hari ini juga akan menggugatnya cerai.Diluar dugaanku, tangan Adi hanya berhenti di udara. Kedua tangannya mengepal erat."Percuma kam salat malam tapi kelakuanmu seperti ini," sindirnya. Berdiri dengan wajah memerah dan menatapku tajam."Kamu. sendiri yang membuatku semakin enggan bersikap baik padamu. Jadi, tunggu saja sampai Ibu pulih, akan kukabulkan permintaan ceraimu,” ucapnya penuh tekanan.Adi berbalik dan meninggalkanku di kamar.Sejenak aku menyesali perbuatanku. Aku telah lancang menamparnya. Padahal Adi berhak atas tubuhku. Tapi kemudian aku meyakinkan diri, bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Adi yang lebih dulu mengabaikanku.Jadikupikir, aku berhak menolaknya untuk sekedar melihat rambutku. Pun dengan bagian tubuhku yang lain.
Seminggu sejak kejadian penamparan itu, hubunganku dengan Adi kian menjauh. Mungkin aku memang bersalah karena telah lancang menamparnya, hanya karena Adi ingin melepas mukena yang sedang kupakai. Tapi rasanya aku enggan untuk meminta maaf terlebih dulu. Biarlah ia dengan sikap dinginnya dan aku dengan sikap keras kepalaku. Biarkan seperti ini saja. Toh sebelum kejadian itu, sikap Adi padaku sudah tak bersahabat.

Aku masih bertahan di rumah Adi. Niatku untuk pergi dari sini belum terkabul karena sampai detik ini aku belum bisa menemukan kosan yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjaku.

Pagi ini seperti biasa kami bertiga sarapan bersama. Dan kembali aku harus menahan sesak di dalam sana melihat adegan di depanku. Melati nampak biasa melayani Adi, mengambilkan nasi dan lauk. Memang seperti itu setiap hari. Namun berbeda dengan Adi, yang menurutku pagi ini sangat berlebihan. Kupikir ia sengaja memanas-manasiku.

Pria itu dengan sok mesra menyuapi Melati. Aku benar-benar muak melihatnya. Jika bukan karena aku menghargai masakan Melati, sudah sejak tadi aku meninggalkan meja ini.

Melati sendiri nampak kurang nyaman dengan perlakuan Adi. Beberapa kali ia tersenyum canggung padaku. Dan mencoba menyudahi sikap sok mesra Adi.

"Aku makan sendiri saja, Di," pinta Melati.

"Aku ingin menyuapimu, Sayang." Adi kembali mengarahkan sendok pada mulut Melati. Ia melirikku, sudut bibirnya terangkat sedikit.

Sungguh aku merasa benar-benar muak melihatnya. Untunglah makanan di piringku telah habis. Aku segera minum dan bersiap pergi.

"Mel, aku berangkat dulu. Terima kasih untuk sarapan lezatnya." Aku segera berdiri meninggalkan pemandangan di meja tadi yang membuatku dadaku nyeri.


"Ta, pulang kerja temani aku ya?" tanyaku pada Marta. Kami sedang makan siang bersama di kantin pabrik.

Marta menghentikan kunyahannya, menatapku penasaran. "Kemana?"

"Pasti lupa deh. Cari kosan, Ta."

"Ah iya, aku lupa," Marta menepuk kening pelan. "Serius kamu mau kos sendiri?" tanyanya penuh khawatir. Gadis bermata sipit itu tahu jika aku adalah gadis penakut.

"Iya, Ta. Aku gak kuat kalau harus terus-terusan di sana. Aku juga sedang berpikir untuk mengakhiri ini, Ta. Sakit, Ta ... diabaikan terus." Aku merasa mataku memanas. Ada genangan yang siap meluncur dari mataku.

Marta menggenggam erat sebelah kanan tanganku. Mencoba memberi dukungan.

"Pikirkan baik-baik dulu, Nye. Jangan gegabah. Aku tau, aku paham yang kamu rasakan. Tapi sekali lagi pikirkan baik-baik."

Aku tersenyum mendengarnya. Bersyukur memiliki sahabat se-care Marta. Perbedaan keyakinan tidak membuat kami merasa berbeda. Kami saling mendukung satu sama lain. Membantu sebisanya jika salah satu di antara kami tengah mengalami kesulitan.

"Makasih, Ta."

"Hai Anye, Marta." Kami menoleh pada sumber suara. Lelaki dengan lesung pipit di wajahnya tersenyum pada kami.

"Ferdi! Kamu kapan datang?" Marta nampak terkejut dengan kedatangan laki-laki yang kini telah duduk di sampingku.

"Semalem," jawabnya tersenyum lebar.

Laki-laki itu lalu menatapku, tatapan yang tak bisa ku artikan. "Nye, apa kabar?" suaranya melembut.

Dan itu sukses membuat Marta berdeham sambil menahan tawanya. Aku sendiri merasa tak nyaman.

Aku mencoba mengatur irama jantung yang entah mengapa berdetak lebih kencang. Ferdi, lelaki dari tanah padang merupakan rekan kerja kami. Hanya saja kami berbeda bagian.

Aku dan Marta ditempatkan di bagian staf gudang. Mengawasi masuk dan keluarnya barang. Sedangkan Ferdi bisa dibilang orang penting di tempat kami bekerja. Laki-laki berkulit sawo matang itu merupakan staf design. Ia yang men-desain logo untuk kemudian di bordir pada lembaran kain dari klien kami.

"Alhamdulillah aku baik. Kamu bagaimana?"

"Aku baik. Hanya kangen ...."

"Kangen siapa nih?" Marta dengan menahan senyumnya memotong kalimat Ferdi.

Ferdi mengusap tengkuk, ia tersenyum canggung. "Kangen pabrik ini lah."

Ya, Ferdi sempat dimutasi ke cabang pabrik ini di daerah Subang selama satu tahun. Dan menurut kabar yang kudengar, mulai hari ini Ferdi kembali bekerja di tempat kami.

"Yakin nih? Bukan karena kangen seseorang kan?" Marta semakin gencar menggoda Ferdi yang kini salah tingkah.
"Tapi sayang sekali, wanita idamanmu itu sudah menjadi milik orang lain. Kamu telat. Kelamaan mikir sih."

Senyum malu-malu yang tadi ditampilkan Ferdi menyurut begitu mendengar ucapan Marta. Aku sendiri merasa tak enak pada Ferdi, karena perempuan yang dimaksud Marta adalah aku.

Ya ... aku. Beberapa bulan yang lalu sebelum pernikahanku dan Adi terjadi, di sore hari yang cerah Adi menemuiku di kosan.

Laki-laki bertinggi 175 cm itu dengan malu-malu mengungkapkan niatnya untuk menjalin hubungan serius denganku. Saat itu aku tak memberi kepastian. Yang kukatakan padanya kala itu hanya tak akan menjalin hubungan apa pun dengan seorang pria, sebelum pria itu melamarku.
Bukan aku sok suci, aku hanya menjaga diri. Hidup di perantauan membuatku belajar banyak. Banyak di antara teman-temanku yang memanfaatkan kesempatan berjauhan dari orang tua untuk berhubungan dengan lawan jenis sesukanya. Sering kumendengar banyaknya janin tumbuh di rahim mereka, sebelum pernikahan terjadi. Aku hanya menjaga diri sekaligus menjaga hati.

Menjaga hati agar tak mencintai lelaki yang belum tentu menjadi suamiku.

Ferdi memaklumi, ia berjanji setelah uang ditabungannya terkumpul ia akan segera meminangku. Namun, takdir berkehendak lain. Sebelum niat itu terwujud, Tuhan lebih dulu mengirimkan Adi untuk menjadi suamiku melalui proses perjodohan.

Ferdi menoleh padaku, menatapku lekat menuntut penjelasan. Aku melihatnya, ada luka di sepasang mata hitam pekatnya.

"Nye, Sorry." Marta menyadari perubahan sikap Ferdi. Ia tampak menyesal dengan kelancangan mulutnya.

"Nye, apa maksud Marta?" Lirih, lirih sekali Ferdi bertanya. Dan itu membuat batinku tercubit. Aku merasakannya. Luka yang menderanya. Karena nyatanya aku tengah merasakan apa yang Ferdi rasa. Ditolak dan diabaikan.

Waktu belum mengizinkan Ferdi untuk mengetahui kenyataan sebenarnya. Bel masuk berdengung di seluruh penjuru gedung, menjeda perbincangan kami.


Aku menunggu Marta yang sedang ke toilet di parkiran. Duduk di atas motor, sambil memainkan ponsel. Tak ingin menunda waktu lagi, sore ini juga aku akan mencari kostan di sekitar pabrik dengan ditemani Marta.

Hingga sebuah suara membuat jantungku kembali berpacu tak terkendali.

"Nye." Tubuh Ferdi menjulang tinggi di depanku. Masih bisa kulihat sorot kekecewaan di matanya.

"Ya."

"Jadi ... benar kamu sudah menikah?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.

Aku tak sanggup menatap lelaki di depanku. Dengan wajah menunduk aku menjawab pelan. "Iya, aku sudah menikah."

"Kenapa? Aku minta kamu untuk menunggu. Kenapa kamu tega!" Suaranya bergetar. Ah, sakit sekali aku mendengarnya.

Aku menatapnya, laki-laki yang terbiasa tersenyum ramah, kini nampak rapuh. Membuatku semakin diselimuti rasa bersalah.

"Kami dijodohkan."

Ferdi mengepalkan kedua tangannya, mungkin mencoba meredakan gejolak kekecewaan di hatinya.

"Mengapa sesakit ini, Nye? Mengapa sesakit ini mencintai seseorang."

"Maaf, Fer. Maaf."

Ferdi meremas rambutnya. Matanya mulai berkabut. Aku benar-benar merasa semakin bersalah padanya. Tanpa kata, Ferdi akhirnya meninggalkanku.

Mengapa harus seperti ini? Mengapa Tuhan justru menjodohkanku dengan pria yang bahkan tak menganggap kehadiranku. Mengapa bukan Ferdi saja yang Tuhan jodohkan denganku? Melihat dari matanya, aku sedikit tersentuh dengan kesungguhannya.

Harapan tinggal harapan karena jodoh sudah menemukan jalannya sendiri.

"Nye." Marta menepuk bahuku pelan. Seperti biasa sambil tersenyum dan menampakkan gigi gingsulnya.

"Eh, udah?" Aku tersadar dari lamunan. Tersenyum kecil padanya.

Marta mengangguk. "Jadi gak cari kostan? Keburu sore nih."

"Jadi, Ayo."


Selepas maghrib akhirnya aku sampai di rumah, setelah mengantar Marta ke kostannya dan menumpang sholat di sana. Aku telah mendapatkan kos-kosan yang aku inginkan. Berjarak sekitar dua kilo dari tempatku bekerja dan satu kilo dari tempat tinggal Marta. Rencananya besok sore aku akan pindah ke sana. Tak peduli Adi dan Melati melarangku. Tekadku sudah bulat.

Mobil Adi dan motor Melati terlihat sudah terparkir cantik di halaman rumah. Aku berjalan santai memasuki rumah karena memang aku membawa kunci sendiri.

Rumah terlihat sepi. Melewati ruang tamu kemudian ruang makan, tak terlihat dua sosok yang juga menghuni rumah ini.

Aku masuk ke kamar, ingin segera mandi lalu beristirahat, setelah seharian beraktivitas membuat nyeri di sekujur badan. Selesai mandi, aku turun ke ruang makan, bermaksud untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

"Dari mana saja kau jam segini baru pulang?" Aku menoleh ke sumber suara.

Tak jauh dari tempatku, Adi berdiri dengan tangan bersedekap, menatapku tak suka.

"Kerja." Aku kembali menuangkan mi rebus ke dalam mangkok karena memang sudah matang.

"Aku melihatmu tadi berkeliaran di jalanan," Jadi tadi Adi melihatku? "Jangan mentang-mentang ada Melati yang mengurus rumah, kamu bisa seenaknya pulang malam. Tolong tahu diri sedikit jadi orang!"

Kupejamkan mata, mencoba menetralisir hawa panas yang menyelusup di dada. Marah? Tentu saja, suamiku sendiri yang mengatakan jika aku manusia yang tak tahu diri.

Memang benar selama ini Melati yang lebih banyak mengurus rumah. Menyuci, menyapu, mengepel, memasak dan menyetrika. Tapi tentu saja pakaianku, kucuci dan kusetrika sendiri.

Aku memutar badan. Menatap jengkel pada pria yang tengah menatapku tajam. Auranya memancarkan kemarahan. Tapi sama sekali tak membuatku takut. Dan sekuat tenaga aku menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Kata-kata Adi kembali menggoreskan luka yang memang masih menganga.

"Iya aku memang tak tahu diri." Aku menyadari suaraku bergetar. "Tapi satu hal yang perlu kamu ingat Adi. Kamu tidak pernah menghargai usahaku saat aku mencoba membereskan rumah. Semua yang kulakukan di matamu selama ini salah. Kamu ...." Aku tak meneruskan kalimatku. Buliran bening yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga.

Adi terdiam. Mematung dengan wajah yang tak bisa kubaca.

Kuseka kasar air mataku. Berjalan tergesa memasuki kamar. Aku menangis. Ini terlalu sakit. Sakit sekali. Rasa lapar yang tadi menghampiri sudah lenyap, terganti dengan pedih yang menyayat hati.

Dengan tergesa dan diiringi tangis, aku memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Tak perlu menunggu besok aku pindah, malam ini juga akan keluar dari rumah terkutuk ini. Sudah cukup rasanya Adi menginjak-injak harga diriku.

Satu koper besar dan satu tas berukuran sedang, kubawa bergantian menuju teras rumah. Adi dan Melati tak terlihat, mungkin keduanya telah beranjak tidur. Aku tak peduli. Justru membuatku tenang karena tak perlu menjawab pertanyaan Melati jika ia muncul.

Kupesan mobil melalui aplikasi untuk membawakan barang bawaanku. Aku sendiri akan mengendarai motor.

Setelah meletakkan koper dan tas di luar gerbang lalu mengeluarkan motorku. Kukunci gerbang setinggi dua meter di depanku ini.

Tak lama mobil pesananku datang. Dan membawaku meninggalkan rumah yang beberapa bulan ini menjadi saksi ketidakadilan Adi sebagai suami.

Aku pergi
Mengikis harap
Menghapus rasa
Biar rasa ini cukup aku yang rasa
Selamanya, memang hanya dia yang 'kan kau puja

Aku pergi
Dengan hati yang telah kau sakiti berkali-kali

Anyelir

Send @Anyelirsecret.
Sudah sebulan ini aku hidup sendiri di sebuah kos-kosan berukuran 3×4 meter. Hanya Marta yang menemani kesendirianku. Gadis berkulit seputih porselen itu sering menginap di tempatku. Terutama saat weekend, di mana kami mendapat jatah libur dari kantor. Biasanya kami menghabiskan waktu bersama untuk menonton drama Korea terbaru atau pun sekedar mengobrol tentang berbagai hal.

Tapi tidak untuk weekend kali ini. Marta akan mempersiapkan keperluan pernikahannya dengan Simon. Kami berpelukan sewaktu di parkiran tadi dan gadis itu meminta maaf karena tidak bisa menemaniku kali ini. Aku mengatakan jika aku akan baik-baik saja meski kurasa akan kesepian di dalam kamar kos seorang diri. Salahkan aku yang tumbuh menjadi si introver. Yang lebih suka menutup diri dari pada berbaur dengan teman satu kos.

Hujan turun cukup deras membasahi tiap jengkal tanah yang menguarkan aroma khas. Kilatan petir bersahutan di langit yang kian menggelap. Hari masih sore tapi cuaca gelap awan membuatnya seperti malam. Aku baru saja sampai di kos, tepat saat hujan turun menyapa bumi.

Setelah membersihkan badan dan mengisi perut, aku berbaring menatap langit-langit kamar, ditemani suara gemercik air hujan yang entah mengapa mengantarkanku pada kesedihan mendalam.

Di sini, di ruangan sempit ini, aku sendiri. Benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang tahu aku tinggal di tempat ini. Orang tuaku, mertuaku, Adi maupun Melati. Mereka tak ada yang tahu. Hanya Marta.

Aku sengaja tak memberitahu orang tua kami. Dan Adi yang konon statusnya suamiku, sama sekali tak menghubungiku sejak pertengkaran kami malam itu. Sedangkan Melati beberapa kali menghubungiku, memintaku untuk pulang ke rumah dan meminta maaf atas nama Adi.

Aku tak menggubrisnya. Untuk apa aku kembali ke sana, sedangkan suamiku sendiri sama sekali tak mencari keberadaanku.

Akhirnya rasa kantuk menyerang. Aku tertidur dengan air mata yang telah mengering untuk beberapa saat. Dan sebuah suara ketukan pada pintu kamar membangunkanku.
Siapa?

"Assalammu'alaikum."

Dengan malas aku membuka mata.

"Assalammu'alaikum." Suara laki-laki yang tak asing di telingaku kembali mengucap salam.

Aku meraih kerudung lalu memakainya. Dan melangkah menuju pintu. Kuputar lubang kunci dan menarik gagang pintu. Detik selanjutnya pintu terbuka.

Ferdi. Laki-laki yang di beberapa bagian bajunya basah berdiri di depanku dengan badan menggigil.

"Ferdi. Ka-kamu ngapain di sini?"

"Aku ingin bicara."

Setelah mempersilakannya duduk di teras. Aku masuk ke dalam untuk membuatkannya teh hangat dan memberikannya handuk. Tempat kosku terdiri dari enam belas pintu dengan kamar saling berhadapan. Dan lorong di depan kos kami memang dijadikan teras untuk menerima tamu. Sehingga, tamu tidak perlu masuk ke kamar.

Dan di sini kami sekarang. Duduk bersisian dengannya di sebuah kursi panjang terbuat dari anyaman bambu.

Hujan telah berganti dengan gerimis kecil. Kami masih sama-sama diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

Suasana kos nampak lengang. Hanya terlihat dua gadis yang tadi sempat menyapa kami. Mereka baru saja pulang kerja.

"Ada apa?" tanyaku memecah keheningan di antara kami. Setelah Ferdi menyesap tehnya dan mengeringkan rambut dengan handuk yang kupinjamkan.

"Kenapa gak cerita?" tanyanya seraya menatapku lekat.

"Tentang apa?"Aku tahu arah  pertanyaannya, tetapi entah mengap justru aku kembali bertanya padanya, bukannya justru menjawab.

"Tentang rumah tanggamu yang justru membuatmu terluka." Adi menatapku iba. Aku melengos, tak ingin lama-lama bersitatap dengannya.

Bagaimana pun aku seorang istri. Duduk berdua dengannya saja sudah membuatku merasa bersalah pada Adi. Tapi aku tak tega mengusir lelaki di sampingku yang akhir-akhir ini tampak begitu kacau.

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya seorang istri lakukan. Rasanya kurang pantas kalau aku membicarakan perihal rumah tanggaku pada laki-laki lain."

"Kenapa harus seperti ini? Kenapa saat itu kamu gak berusaha menolaknya?"

Aku menghembuskan napas. Berusaha mengurai sesak yang mengimpit dada.

Aku tahu rasanya terluka, Fer. Aku tahu!

"Ada perasaan orang tuaku yang harus kujaga, Fer. Kadang ... takdir memang sekejam ini. Menjodohkan kita dengan orang yang tidak kita cintai, pun dengan orang yang tidak mencintai kita."

Bibir Adi terbuka hendak bicara. Namun kugerakkan tanganku ke bibirku, menyuruhnya diam.

"Jangan temui aku lagi. Jika tanpa sengaja kita bertemu, anggap saja kita gak saling kenal. Carilah wanita lain yang lebih baik segalanya dariku. Aku gak pantas untuk kamu cintai sedalam ini, Fer."

Demi Allah aku berusaha untuk tegar. Mengatur intonasi suara agar terdengar setenang mungkin.

Adi menatapku sendu. Kilatan luka dan iba melebur jadi satu. Inginnya mungkin memintaku berpisah dengan Adi. Tapi ia tak sampai hati mengatakannya. Aku tahu, Ferdi bukan lelaki yang mengambil kesempatan dalam keruhnya biduk rumah tangga seseorang.

"Baik. Anggap kita gak saling kenal." Ferdi tak sungguh-sungguh mengatakannya. Aku tahu itu. Matanya berbicara lain, seolah memintaku untuk tetap di sisinya apa pun statusku saat kini.


Berteman sedih
Berkawan rindu
Aku merindukannya
Kamu yang membuatku merana

Send to @anyelirsecret.

Masih dengan perasaan yang sama, aku melanjutkan hidup meski terseok-seok.

Di sudut kota industri ini, aku menatap langit yang bertabur ribuan kerlip bintang. Malam ini langit nampak begitu megah. Aku duduk di depan kos di bangku panjang sendirian. Memainkan gawaiku, sekedar mengusir waktu.

Ini malam minggu, sebagian besar penghuni kos memilih menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan atau sekedar hangout di kafe langganan. Atau bahkan hanya menghabiskan malam di taman kota.

Sebuah pesan masuk di IG-ku.

Melati :

Pulanglah. Ada yang diam-diam merindukanmu di sini.

Aku membeliakkan mata. Berusaha mencerna pesan yang baru saja dikirimkan maduku itu.

Siapa yang merindukanku? Jangan-jangan Bapak sama Ibu ada di rumah Adi.

Me :

Bapak sama Ibuku di sana, Mel? Datang kapan? Kamu gak bilang kalau aku ngekos kan?

Lima menit berlalu, belum ada jawaban dari Melati. Cemas aku dibuatnya. Lalu sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nama Adi berkelip-kelip di layar ponsel.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Barangkali mataku salah melihat nama yang tertera di sana. Tapi benar, itu nomor Adi, suamiku. Ada apa dia menghubungiku?

Dengan ragu aku menggeser lencana hijau di layar ponsel. Kudekatkan benda pipih buatan negeri oppa-oppa tampan itu ke telingaku.

"Assalammu'alaikum."

Hening. Tidak ada sahutan dari lawan bicaraku.

"Mel."Aku tak terlalu percaya diri menyebut nama Adi. Bukan apa-apa, terlihat mustahil rasanya Adi tiba-tiba menghubungiku.

"Ini aku." Tetapi justru suara bariton Adi yang terdengar di seberang sana.

"A—adi?” Aku spontan berdiri saking tidak menyangkanya.

"Jadi kamu di sini?" Suara Adi tidak seperti di telepon. Suaranya terdengar nyata ada di sini. Mungkinkah?

Dari ekor mataku aku menangkap siluet tubuh di dekat gerbang utama. Seketika aku menoleh ke arah jalanan di sebelah kananku. Dan aku melihat Adi, tengah berdiri bersandar di pintu mobil dengan ponsel masih di genggaman. Ia tersenyum kecil padaku.

Aku melongo dibuatnya. Untuk sesaat aku hanya terpaku di tempatku berdiri. Memastikan jika ini bukanlah mimpi. Adi tahu aku tinggal di sini?

Adi melangkah kearahku dengan langkah lebar dan penuh percaya diri, seperti biasa. Jantungku bertalu-talu tak beraturan. Sekian lama tidak bertemu dengannya, membuatku salah tingkah.

Relax, Anye. Adi ke sini bukan berarti dia mencintaimu.

"Kita pulang sekarang." Adi berkata pelan setelah sampai di depanku. Tubuhnya menjulang tinggi.

"A—aku tidak bisa."

"Ayo kemasi barangmu." Adi menggenggam tanganku, menuntunku masuk ke dalam kamar.

"Biarkan terbuka pintunya."

Aku tak ingin menimbulkan prasangka orang. Penghuni kos di sini mengenalku sebagai Anyelir si gadis jomblo. Memang sengaja aku menyembunyikan tentang statusku. Untuk apa juga aku pamerkan? Toh ini hanya pernikahan menyedihkan. Tak ada kebahagiaan sama sekali di dalamnya.

Aku berdiri termangu menatap pria yang sibuk memasukkan barang-barangku ke dalam koper.

Ada apa dengan Adi?

"Ayo bantu aku!" titahnya memandangku sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitas yang seharusnya aku yang melakukan.

"Aku mau di sini."

Adi menghentikan gerakan tangannya. Ia menatapku. Kali ini dengan air muka yang berbeda. Tak seramah saat pertama kali datang.

"Kalau begitu aku yang akan menginap di sini,” putusnya.

Adi mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Tapi aku sadar bukan karena dia mencintaiku. Entahlah, aku hanya curiga pria di depanku ini sedang merencanakan sesuatu.

Maafkan aku Tuhan, karena sudah berprasangka buruk.

"Kita bisa dikira pasangan kumpul kebo, Di. Aku tidak ingin membuat masalah."

"Aku bisa menjelaskannya pada mereka. Kita suami istri yang sah di mata agama dan negara." Adi berjalan menuju pintu. Menutupnya cepat kemudian menguncinya.

"Di ...." Aku masih termangu. Belum mengerti dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba berubah, tak sedingin biasanya.

Adi melepas kemeja dan celana jeans-nya. Menyisakan kaos putih dan celana pendek di atas lutut. Kupalingkan wajah menatap ke tempat lain. Ada gelenyar aneh yang seketika menerjangku, melihat Adi memakai pakaian itu.

Bagaimana pun Adi pernah menyentuhku. Meski mulut dan otakku menolak. Tapi saat kejadian itu tubuhku merespons lain. Aku menikmati ketika jemari kokoh Adi menguasaiku. Dan saat ini kami hanya berdua saja di dalam kamar sempit ini. Hawa panas yang memang terbiasa kurasakan setiap hari karena memang tak ada AC di sini, membuatku semakin merasa kepanasan.

Anye, jangan berpikir terlalu jauh!

Aku duduk di atas kasur. Menyalakan tv tanpa menontonnya. Pikiranku sibuk berkelana. Bertanya-tanya dengan perubahan sikap Adi. Berspekulasi tentang kemungkinan yang membuatnya tiba-tiba muncul di depanku.

Aku mengirimi pesan pada induk semangku. Menjelaskan padanya jika malam ini suamiku menginap di kamarku. Mengirimkan foto pernikahan sebagai bukti. Meski awalnya sang induk semang terkejut, tapi kemudian beliau percaya. Urusan izin menginap selesai. Beralih ke urusan tidur, tidak mungkin aku tidur dengan Adi di atas kasur yang sama. Ukuran kasurnya yang terlalu sempit dan ....

Aku menutup mata. Adi tidak mungkin melakukannya, Anye!

Pintu kamar mandi terbuka. Adi keluar terlihat lebih segar dengan rambut sedikit basah.

"Ada handuk?"

Aku beranjak menuju lemari plastik, mengambil handuk baru lalu memberikan padanya.

"Sudah makan?"

"Sudah."

"Mau minum apa?"

"Adanya apa?"

"Teh sama susu."

"Teh saja."

Aku bergegas membuatkan teh untuknya.

"Ini." Aku memberikannya pada Adi yang kini tengah duduk di atas kasur.

"Terima kasih."

Aku memilih duduk di karpet. Sedikit menjauh darinya.

"Duduklah di sini." Adi menepuk kasur di sampingnya.

"Kamu tidak pulang? Melati sendirian."

Adi bergeming. Matanya lurus ke arah TV, sedang mulutnya menyesap perlahan teh yang kubuat tadi.

"Di. Mengapa kamu kemari?"

"Apa ada larangan menemui istri sendiri?"

Mungkinkah kepala Adi kepentok sesuatu sebelum kesini?

"Kamu tidak mau tidur?" Adi beranjak meletakkan tehnya di samping dispenser lalu membaringkan tubuhnya di kasur sempitku.

kuhela napas panjang. Mengalah, akhirnya aku memilih berbaring di atas karpet di sebelah kasur.

"Jangan tidur disitu. Kemarilah. Kasur ini cukup untuk kita berdua."

"Aku di sini saja."

Adi berdecak kesal. Ia beranjak menghampiriku. Tangannya bersiap mengangkat tubuhku.

Aku melotot dibuatnya. "Aku bisa sendiri, Di."

Aku menyerah, berpindah ke kasur. Adi ikut berbaring di sampingku. Kami berbaring saling memunggungi.

"Maaf."

Aku masih terdiam. Masih tak percaya dengan perubahan sikap Adi yang justru membuatku bergidik ngeri.

"Maaf untuk sikapku selama ini." Adi kembali mengutarakan permintaan maafnya.

Aku bingung harus menjawab apa. Di satu sisi aku bahagia, Adi tiba-tiba menemuiku dan meminta maaf. Tapi disisi lain ada kecurigaan dikepalaku. Ya, aku curiga jika ada sesuatu dengan Adi yang membuatnya rela datang kemari.

Aku tak mau percaya diri kalau saat ini Adi telah membuka hati untukku. Impossible! Melati terlalu sempurna jika dibandingkan denganku. Jadi, aku yakin ini karena sesuatu dan itu berhubungan dengan Melati.

"Nye."

"Hm."

"Besok kita pulang ya," bujuknya lagi.
"Aku sudah nyaman di sini."

Aku merasakan pergerakan di belakangku. Kemudian sebuah tangan telah berada di pinggangku. Memelukku erat. Hampir saja aku memekik jika tak ingat pria itu adalah suamiku.

Perlahan aku mencoba memindahkan tangan Adi dari pinggangku. Aku risi. Bayangan Adi akan meminta haknya memenuhi kepalaku. Aku belum siap. Sungguh. Namun Adi tak memedulikan penolakanku. Pria berambut lurus dengan kulit kekuningan dan mata sipit bak oppa Korea itu justru semakin mempererat pelukannya. Bukan hanya tangannya, tubuhnya juga kini menempel ke tubuhku.

"Di. Jangan."

"Diamlah. Aku hanya akan memelukmu."

Akhirnya aku membiarkan Adi memelukku. Aku mencoba memejamkan mata demi menghalau desiran aneh yang menyelusup di dada. Ini memang bukan pertama kali Adi menyentuhku, tapi perlakuannya yang lembut membuat hatiku menghangat seiring dengan debaran jantung yang berpacu lebih cepat.

Cinta mungkin belum bersambut
Rindu mungkin belum jua berbalas
Tapi lakunya telah membuat hati yang hampir mengeras ini, melembut

Semoga ini bukanlah sekedar bunga tidur
Yang esok hari berganti dengan kenyataan lebih menyakitkan

@anyelirsecret

Kuunggah sebuah tulisan di Instastory untuk mengungkapkan isi hatiku saat ini, setelah mendengar dengkuran halus dari pria yang tengah memelukku dari arah belakang.

Aku tersenyum lalu memejamkan mata perlahan. Malam yang indah.

Baca Versi Lengkap👉<<Orang Ketiga 18+>>

Selasa, 18 Agustus 2020

Novel Romantis 2020

Adelia Franciska, biasa dipanggil Icha. Seorang wanita berusia dua puluh dua tahun yang baru lulus sekolah tinggi kesekretariatan. Bertubuh mungil dengan tinggi seratus lima puluh lima centi meter dan berat empat puluh lima kilo gram.
mempunyai wajah oval dengan mata yang besar, bulu mata lentik dan bibir kecil yang tampak manis. Tubuh mungilnya justru membuat penampilan wanita itu semakin imut. Ditambah sifatnya yang terlihat polos dan manja tentu membuatnya terlihat lebih menarik.
Icha sudah mencoba melamar pekerjaan ke beberapa tempat untuk mengisi posisi sekretaris namun entah kenapa dia tak jua dipanggil. Ada yang terang-terangan menolak karena tubuhnya yang kurang ideal dan kurang seksi.
Ada juga yang beralasan Icha kurang mengerti tugas sekretaris, ataukah hanya alasan saja ketika ada yang terang-terangan meminta Icha memperlihatkan tubuhnya dengan busana mini karena alasan sekretaris itu harus mulus.
Pada akhirnya, Icha meminta tolong pada salah satu kenalannya, Rafa. Mantan tunangan dari kakak keduanya yang telah meninggal dunia. Lelaki itu mengenalkannya pada kakak nya yang bernama Andre. Andre saat ini cukup kerepotan karena dia yang belum mempunyai sekretaris pengganti pasca ditinggal sekretaris pertamanya yang harus melahirkan dan memutuskan resign karena telah lama menunggu kehamilan itu.
Dialah Andre Wiratmaja, pengusaha sukses yang membangun usahanya sendiri dari nol. Perusahaannya bergerak di bidang advertising, percetakan dan penerbitan. Iklan yang ditonton di televisi banyak yang di buat oleh perusahaannya. Percetakan segala spanduk atau sablon kaos dalam ukuran besar juga di handle oleh perusahaannya. Dan buku-buku pelajaran serta komik dan Novel seringkali diterbitkan olehnya.
Andre merupakan lelaki kharismatik dengan bentuk tubuh yang sangat ideal. Tinggi seratus delapan puluh derajat, mempunyai six pack di perut karena dia yang menyukai olahraga.
Wajahnya ditumbuhi bulu halus yang dicukur rapih, brewok yang dipeliharanya justru membuat dia terlihat sangat macho. Sayangnya yang di usianya menginjak empat puluh tahun dia masih enggan mengenal wanita.
Ditinggal meninggal oleh tunangan nya menorehkan luka mendalam tersendiri baginya. Dia telah menyerahkan seluruh hatinya yang terbawa pergi oleh wanita itu. Dia pun menjadi pribadi yang tertutup, jarang sekali tersenyum ataupun tertawa. Terpuruk karena kepergian kekasih membuatnya menutup diri.
Andre menerima Icha jadi sekeretarisnya bukan karena kemampuannya, tapi menurutnya, gadis yang telah lama di kenalnya itu sudah cukup tahu kisah hidupnya.
Pertemuan pertama Andre dan Icha justru terjadi saat kematian kekasih Andre, Ayah Andre dan Ayah Icha bersahabat maka tak heran jika keluarga mereka sebenarnya telah lama saling kenal. Saat itu Icha dan Dinda kakaknya yang masih berstatus teman Rafa, mengunjungi Andre dan mencoba menghiburnya. Icha adalah anak yang ramah dia selalu menegur Andre jika bertemu di jalan atau ada acara keluarga.
Semenjak Rafa berpacaran dengan Dinda, Icha sesekali terlihat bermain di rumahnya mengikuti kakaknya bak ekor. Apalagi jika ada acara di rumah Andre, maka sudah bisa dipastikan dia dan Dinda turut hadir dan ikut membantu.
Karena itu Icha merasa sudah dekat dengan keluarga Rafa dan tak akan canggung jika bekerja dengan Andre yang biasa dipanggil Om Andre itu karena jarak usia mereka yang terpaut sangat jauh yaitu delapan belas tahun.
***
Icha masih berdiri di depan meja Andre, hari ini pertama kalinya dia bekerja, mengenakan celana panjang dan blazer senada. Kemeja berwarna peach dan stilleto yang membuat tubuhnya menjadi  lebih tinggi.
Make up yang dipakainya mempertegas contour wajah, juga kacamata tipis membingkai matanya. Dia memang sejak SMA memakai kacamata karena minus dua yang dideritanya.
"Hari ini apa yang harus aku kerjakan Om?" tanyanya dengan mata menelisik ke seluruh ruangan Andre, sebenarnya lelaki itu mempunyai tiga gedung perusahaan yang berbeda untuk setiap bidangnya karena itu dia seringkali bepergian dan tidak stand by di tempat kecuali ada meeting yang cukup penting yang membuatnya betah berlama di satu tempat.
"Biasakan panggil pak kalau di kantor," geram Andre, mengangkat wajah dari dokumen yang sedari tadi dipekurinya.
"Maaf Om, eh Pak," Icha menutup mulutnya, membuat Andre mendesah frustasi.
"Baru datang jam segini?" Andre melirik jam di tangannya.
"Bukannya kantor masuk jam sembilan?" Icha pun melihat jam di tangannya baru pukul sembilan kurang lima menit.
"Harusnya kamu datang satu jam lebih awal, siapkan kopi panas di meja saya, rapikan dokumen yang perlu saya periksa dan tandai mana dokumen yang paling urgent di tumpukan paling atas, periksa agenda saya."
"Siap Om, Boss. Maaf aku kurang tahu dan aku usahain besok datang lebih awal," Andre menghembuskan nafas perlahan. Dia berdiri dan menghampiri Icha. Memutari tubuh Icha dan duduk di mejanya dengan kaki menyilang.
Andre mengerutkan kening, suaranya melemah menatap wanita polos yang berdiri di hadapannya.
"Saya tahu kamu masih kesulitan memanggil saya bapak, tapi saya harap di depan orang banyak kamu tidak memanggil saya Om, kalau hanya berdua saja it's oke, pengecualian," Andre mengambil dua buku agenda di mejanya dan menyodorkan pada Icha.
"Salin jadwal saya dari agenda yang coklat ke agenda hitam, jangan lupa dirapihkan dan urutkan tanggalnya, saya ada meeting di bawah," Andre menepuk bahu Icha dan berjalan melewatinya.
"Siap Om, ups," Icha menutup mulutnya, Andre hanya menggeleng. Kalau saja dia tak butuh sekretaris untuk mengurus segala keperluannya, tentu dia tak akan mau mempekerjakan anak bau kencur seperti wanita ini.
***
Andre baru saja selesai meeting, melewati meja Icha yang tampak seperti kebingungan mencari sesuatu, awalnya dia acuh namun gerakan Icha membuatnya tak bisa tinggal diam seolah telah menghilangkan sesuatu yang berharga.
Maka Andre pun menghampirinya, meja Icha tampak sangat berantakan beda dengan Tania, sekretaris nya yang lama. Wanita itu sangat rapih dan cekatan. Serta tak banyak menuntut, itu sebabnya Tania dan Andre sangat cocok sebagai bos dan sekretaris yang bekerja hampir lima belas tahun lamanya.
Sayang saja Tania yang sudah menikah selama sebelas tahun, kini akhirnya dikaruniai kehamilan, hal yang sangat ditunggu-tunggu, membuatnya dengan terpaksa berhenti kerja agar bisa fokus pada kehamilan nya.
"Nyari apa sih?" tanya Andre kemudian, dia bahkan ikut menelisik seluruh meja Icha.
"Kacamata om, aku enggak jelas ngeliat klo tanpa kacamata," keluh Icha, mengangkat beberapa dokumen di mejanya dan menurunkannya lagi, memindahkan beberapa barang.
"Kacamata kamu?" Icha mengangguk, Andre memijit pelipisnya sambil memejamkan mata, ingin marah namun ditahan, apakah wanita ini becus kerja nanti? Bagaimana bisa dia kehilangan kacamata yang bahkan masih bertengger di wajahnya!
"Itu yang kamu pakai apa?!" tunjuk Andre pada wajah Icha, geram namun sekuat tenaga mencoba menetralkan suaranya.
Icha memegang benda yang tadi ditunjuk Andre, sambil terkekeh dan nyengir seperti kuda dia menatap bosnya yang memasang wajah geregetan.
"Hehe iyaa, aku lupa om, ternyata ada disini,"
"Huft, udahlah... Besok pakai softlens aja. Pernah pakai kan?"
"Iya pernah, iya juga yaa, mending pake soft lens," Icha lagi-lagi tersenyum riang. Membuat Andre sebal, tak ada rasa bersalah sama sekali sepertinya.
Andre pun memutuskan untuk masuk ke ruangannya. Ada beberapa hal yang perlu dikerjakan dibanding memperhatikan sekretaris yang seperti bocah ingusan itu.
***
Icha mengetuk pintu ruangan Andre sebanyak tiga kali, lalu membuka pintunya, Andre sedang memperhatikan design layout untuk penerbitan ketika Icha masuk.
Wanita itu menyodorkan surat undangan pada Andre, yang baru ditemukannya di laci.
"Acaranya malam ini om, mau hadir?"
Andre melirik dengan tatapan tajam pada wanita yang gemar sekali memanggilnya om tersebut. Hello, dia bukan suami dari tantenya! Kenapa susah sekali panggil bapak!
Andre membuka undangan itu, acara lamaran salah satu koleganya. Dia baru ingat bahwa dia harus menghadiri acara ini, sebelum Tania pamit, wanita itu sudah memberi tahu, tapi Andre yang sibuk, mengacuhkan undangan itu dan menyuruh Tania menyimpannya saja.
"Mau datang om? Nanti aku tulis di agenda,"
"Acara dadakan apa perlu ditulis juga?" Andre lagi-lagi menggeram,
"Hehe santuy om," dan Icha dengan tanpa rasa bersalah tertawa menyambutnya.
"Yaudah kamu hubungi nomor ini, siap-siap karena malam ini kamu yang akan menemani saya, tinggalkan semua kerjaan kamu sebaiknya kamu bergegas, saya tidak mau dianggap mempekerjakan anak dibawah umur!" decih Andre membuat Icha manyun, namun wanita itu segera mengambil kartu nama di tangan Andre.
Dibaca keras-keras, Nadhifa Salon and butik, Andre meliriknya dengan tatapan membunuh, tapi bukan Icha namanya kalau peka, karena wanita itu justru cengengesan sambil melambaikan tangan saat meninggalkan Andre.
Kurang seram kah wajahnya? Mengapa wanita itu tak takut padanya?
Padahal hampir seluruh karyawan tak ada yang berani menatap mata Andre, apalagi saat lelaki itu sudah menggemeletukkan giginya, dijamin wajah karyawan yang berurusan dengannya akan pias, pucat pasi.
Namun tidak dengan Icha, mungkin karena sudah lama mengenalnya? Atau memang wanita itu tak punya rasa takut pada orang lain?
Andre menggeleng, buat apa dia memikirkan Icha? Lebih baik dia mencari setelan jas yang akan dikenakannya malam nanti di kamar ganti dalam ruangan kerjanya.
***
Icha mencoba menghubungi nomor telepon Nadhifa Salon dan Butik tersebut, suara seorang wanita yang terdengar lembut mengalun di telinganya rupanya wanita itulah yang bernama Nadhifa mengangkat langsung panggilan yang masuk ke nomornya. Karena kartu nama yang dipegang Icha adalah kartu VIP.
Setelah berbincang sedikit dan menjelaskan situasinya, Icha segera diminta datang ke butik milik Nadhifa.
Icha pun pamit pada Andre yang memintanya untuk diantar oleh sopir pribadi.
Icha sampai di butik menjelang sore, mengenakan tas punggung dan bergaya ala mahasiswa membuat Nadhifa berfikir keras. Benarkah dia yang menjadi sekretaris Andre?
"Halo, saya Nadhifa, teman Andre sejak SMU, kamu sekretarisnya yang tadi telpon saya?"
"Hai tante, Iya aku Icha," dengan Riang Icha menyalami Nadhifa, bahkan mencium punggung tangannya membuat Nadhifa menggeleng sambil tertawa, benaknya berfikir pasti kehadiran Icha untuk menguji kesabaran Andre yang seringkali temprament.
"Kamu lulusan sekretaris?" tanya Nadhifa sambil berjalan menuju ke ruangan lain dari salonnya dimana terdapat banyak gaun pesta.
"Iya tan, kenapa?"
"Diajarin tentang berbusana kan?"
Icha mengangguk namun ragu, karena jujur dosen yang mengajarkannya tentang mode sungguh terlihat galak dan Icha tak menyukainya.
"Tubuh kamu mungil, apa yang kamu kenakan sekarang, bikin kamu terlihat tambah kecil, karena saya sahabat Andre, gimana kalau saya atur busana kamu ya?" Icha mengangguk antusias, mengekor Nadhifa yang sudah memilih beberapa pakaian untuk dikenakannya dan rata-rata model rok mini atau gaun terusan yang sangat pendek.
Icha tak bisa berkutik karena tak mau mengecewakan Nadhifa yang tampak sangat baik terhadapnya. Diapun akan menyetujui apa saja yang dipakaikan padanya untuk acara malam nanti.
Icha memperhatikan Nadhifa yang masih mengatakan beberapa hal padanya termasuk tips berbusana.
"Nih kamu cocok pakai celana High Waist, bisa keliatan lebih tinggi, gunakan celana diatas pinggul. Untuk gaun ini bagus di padankan dengan ikat pinggang kecil, jadi orang yang melihat tak akan fokus pada ukuran tubuh saja," Nadhifa menarik satu ikat pinggang ukuran kecil untuk gaun yang dikenakan Icha.
"Gaun desain V - Neck cocok banget buat tubuh mungil kayak kamu, atau gaun ini nih, hindari gaun dengan bagian bawah terlalu lebar," Nadhifa memberikan gaun berwarna pink bahan brukat yang cukup pendek.
"Kamu bisa banget lho pake outer tapi yang pendek jangan yang terlalu panjang, dan satu lagi gunakan baju fit body, jangan yang kebesaran," tutur Nadhifa.
Tangannya menarik satu gaun bermodel V neck berwarna hitam sebenarnya karakter Icha lebih cocok pakai pink, namun karena dia akan pergi dengan om-om tua sekelas Andre, menggunakan pink tentu bukan busana yang cocok, bisa-bisa Andre akan menjauhinya.
Nadhifa juga merapikan rambut Icha dan juga make up, memberikan heels tinggi pada wanita itu dan beberapa aksesoris lainnya. Semua dia yang mengatur, terakhir Nadhifa menyerahkan soft lens berwarna abu-abu untuk mempercantik Icha.
***
Setelah rapih, Icha dijemput oleh supir pribadi Andre, Icha yang biasanya duduk disamping supir itu disuruh duduk dibelakang oleh Andre.
Dia takjub melihat Icha yang tampak beda malam ini, tak bisa mengalihkan perhatian dari paha Icha yang mulus dan terpampang nyata disampingnya.
"Kenapa pakai gaun pendek banget?" Andre mendengus dan membuang pandangan ke jendela mobil.
"Disuruh tante Nadhifa, aku nurut aja lah om daripada disuruh pergi," Icha meletakkan tas kecilnya di pangkuan.
"Nanti saya ngenalin kamu sebagai sekretaris baru saya, disana ada banyak kolega saya, kamu harus hapal satu persatu ya, jangan malu-maluin dan jangan panggil Om!" tutur Andre. Icha hanya mengangguk, bibirnya terus tersenyum membayangkan hal luar biasa yang akan ditemuinya saat acara pertunangan nanti.
Mobil berhenti di depan sebuah hotel, Icha menganga menyaksikan dekorasi ruang pertemuan itu, tamu-tamu yang datang rata-rata memakai pakaian yang sangat bagus. Beruntung Andre menyuruhnya menemui Nadhifa sehingga dia bisa mengimbangi lelaki dewasa yang kini menyodorkan tangan agar Icha menggamit lengannya.
Dia pernah diajari bab ini, tentang menemani atasan ke pesta. Hal yang lumrah mengamit lengan Boss nya. Sama seperti yang lainnya, Icha pun tak yakin bahwa pasangan di hadapannya adalah pasangan resmi, bisa saja hubungannya sama seperti dia dan Andre hanya sebagai Sekretaris dan Boss, tidak lebih.
Andre menulis namanya di buku tamu, Mata Icha masih jelalatan memperhatikan tamu yang lalu lalang.
Hingga Andre mengenalkannya dengan beberapa orang koleganya, dan tibalah mereka memutuskan memisahkan diri, sementara Icha ditemani oleh sekretaris lain. Wanita berpakaian seksi dengan belahan rok yang tinggi. Tubuhnya tinggi semampai bak model.
Icha sekedar berbasa-basi padanya, karena wanita itu jelas menunjukkan wajah menggoda pada beberapa pria di hadapan merek. Icha pun memutuskan meninggalkan wanita tadi dan berjalan ke stand makanan ringan.
Dia mengambil sepotong cake coklat dan mencari tempat duduk.
Disudut ada kursi kosong, diapun duduk disana menikmati cake tersebut juga home band yang mengisi acara.
"Bosen?" secara tiba-tiba Andre berada di hadapannya, Icha menggeleng dan menyuap potongan terakhir kue tersebut.
"Yuk kesana," Andre mengulurkan tangannya, Icha sesaat ragu, namun Andre memberi isyarat agar dia menyambut uluran tangan itu, akhirnya Icha menggenggam tangan Andre dan berdiri, mereka bergandengan tangan sampai Andre menggeser tangan Icha untuk mengamit lengannya lagi.
Lelaki yang kadar ketampanannya naik beberapa derajat malam ini tak menyadari bahwa perlakuannya menimbulkan getaran aneh di dada sekretarisnya.
Dia bahkan tak menyadari tubuh Icha yang menegang kaku karena tadi bersentuhan kulit dengannya.
"Sakit?" tanya Andre memperhatikan Icha yang terus terdiam.
"Ah, enggak," Icha menggeleng dengan senyum terkembang.
"Laper?" tanya Andre lagi, agak menunduk memperhatikan wajah Icha.
"Iya, sedikit,"
"Dasar anak kecil!" Andre mengusap rambut Icha dan melepas gamitan tangan Icha, berjalan ke salah satu meja yang tampak hanya berisi dua orang dan berbincang pada dua orang itu, mereka menatap Icha dan mengangguk.
Icha menjadi salah tingkah, mengusap tengkuknya yang bergidik. Lalu kembali memperhatikan Andre yang ternyata sudah melambaikan tangan agar Icha menghampirinya.
Dengan perlahan Icha menghampiri Andre dan dua pria di meja itu. Andre menyuruhnya duduk, sementara dia pergi entah kemana?
Icha memegang ujung roknya dengan cemas. Apakah Andre sejahat itu, memberikan nya pada orang asing? Untuk apa? Apa untuk memuluskan usahanya?
Icha melihat ke dua laki-laki asing yang tampaknya asik berbincang dan tak memperdulikan Icha.
Salah seorang waitress membawa air mineral dan Icha memintanya, menenggak minuman itu hingga setengah gelas.
"Haus?" tanya salah seorang pria di hadapannya, Icha mengangguk salah tingkah, dia harus memasang tampang jelek agar mereka tak tertarik. Karena itu Icha menguap lebar-lebar tanpa menutup mulutnya. Bahkan dia menggaruk perutnya sambil pandangan melihat ke sekeliling seolah bosan.
Wajahnya pasti terlihat jelek sekali saat ini, pikirnya. Tapi dua orang itu tampak mengacuhkannya lagi. Icha merasa berhasil ketika dua orang itu pamit pada Icha dengan beralasan ingin menemui pasangan yang bertunangan.
Icha tersenyum sumringah berasa jumawa karena berhasil mengusir dan membuat ilfeel orang itu.
Tak lama Andre datang membawa sepiring makanan dan meletakkan di hadapan Icha.
"Lho dua orang tadi kemana?" tanya Andre sambil duduk, "Makan," suruhnya pada Icha yang segera menyambut dengan perasaan senang, langsung saja dia melahap makanan itu.
"Katanya mau nemuin yang tunangan," ucap Icha dengan mulut penuh makanan.
"Yah, baru saja mau bahas bisnis sama mereka, bukan rejeki berarti," Andre meminum cairan berwarna hitam tersebut tanpa memperdulikan Icha yang hampir tersedak. Biarkan dia merahasiakan ini, tak mau dimarahi Andre.
"Kamu enggak ngelakuin yang aneh-aneh sampai mereka pergi kan?"
"Uhuk!" Icha benar-benar tersedak kali ini, Andre menghela nafas dan memegangi gelas Icha untuk membantunya minum. Bahkan dia menepuk punggung Icha.
"Pelan-pelan makannya ish!"
"Maaf om," tuturnya merasa bersalah. Penyesalan terdalam karena membuat kabur rekan bisnis bosnya.
***
Keesokan harinya.
Icha datang satu jam lebih awal untuk kerja. Dia menyempatkan diri membereskan meja Andre, meletakkan beberapa dokumen penting dan menandainya dengan sticky note.
Sesuai instruksi Nadhifa kemarin, hari ini dia mengenakan terusan pendek berwarna putih dengan motif bunga yang kecil-kecil. Tak lupa ikat pinggang dan agar terlihat formal dia mengenakan blazzer pink senada dengan bunga di baju nya.
Blazzer itu di letakkan di kursi meja kerjanya, sementara dia memilih berdiam diri di ruangan Andre, menata beberapa barang di meja Andre dan menemani cleaning service yang menyedot debu dengan vakum.
Cleaning service tersebut berpamitan pada Icha yang mengangguk sopan. Saat Icha akan keluar ruangan, antingnya terjatuh, dia pun menunduk tapi tak menemukan dimana anting itu berada.
Akhirnya dia membungkuk untuk mencari kebawah meja, khawatir anting itu menggelinding jatuh kebawah meja.
Tak menyadari pintu ruangan Andre yang sudah terbuka karena dia membelakangi pintu itu.
Andre sekilas kaget melihat Icha yang tengah merangkak, Icha terus merangkak maju dan sesekali membungkuk memperhatikan beberapa benda yang ditemukannya  dia pindah ke bawah lemari dan menyipitkan matanya.
Andre mau tak mau melihat rok Icha yang terbuka dan memperlihatkan isinya. Matanya membelalak ketika menyadari bahwa wanita itu tak memakai celana pendek dan jelas-jelas terlihat celana dalaman berenda tercetak jelas menutupi bokongnya.
Andre membuang pandangan ke arah lain dan berdehem. Icha menoleh dan tersenyum pada Andre. Andre lagi-lagi membuang wajahnya, bagaimana tidak?
Karena Icha yang menengok itu justru mempertontonkan payudaranya yang menggantung dan terlihat dari lubang leher bajunya yang berpotongan rendah.
"Kamu ngapain sih? Bangun!" pinta Andre. Icha merengut dan tak mau beranjak, kembali mencari anting dibawah lemari.
"Anting Icha jatuh om, nah itu dia! Beneran kan menggelinding kesana," Icha merapatkan wajahnya ke lantai dan tangannya menjulur ke bawah lemari.
Andre merasa ruangan mendadak panas, bagaimana bisa anak kecil itu tak menyadari kalau dia sudah mempertontonkan bagian sensitifnya semakin terlihat saat memposisikan dirinya seperti itu.
Andre berusaha mengacuhkan Icha dan berjalan ke mejanya, duduk di kursi dan meletakkan tasnya di meja.
Pikirannya berkecamuk dengan atmosfer ruangan yang mendadak panas.
Sekalipun mereka telah kenal lama, namun tetap saja, Andre adalah lelaki dewasa, mengapa Icha tak menaruh waspada sedikitpun. Lagi-lagi Andre menggeleng kesal. Bocah kecil itu baru dua hari kerja sudah membuat harinya menjadi panas dingin tak karuan.
Icha berdiri dan mengenakan antingnya sambil menghadap Andre.
"Cha," panggil Andre, Icha menyahut. Pandangan Andre tetap terpaku pada laptop yang kini sudah dinyalakannya.
"Kamu enggak pakai celana pendek?" Andre merasa serba salah, tapi dia ingin meluruskan otaknya, barangkali dia hanya salah lihat tadi dan dia tak harus memikirkan hal yang lain kan?
"Enggak om, aku enggak nyaman pakai celana pendek. Emangnya kenapa om? Keliatan ya? Hehe maaf om,"
Andre menganga, melihat Icha yang seolah tak merasa bersalah telah membiarkan pikirannya berkelana.
"Lain kali pakai! Lagipula kenapa pakai baju pendek begitu untuk kerja?" Andre mengangkat wajah, menatap Icha yang mesih tersenyum ceria.
"Enggak mau Om, lebih nyaman begini. Lagipula aku pakai baju ini cocok lho om, banyak yang puji aku lebih bagus pakai busana seperti ini, kan kalau akunya cakep om juga gak malu ajak aku kemana-mana, yakan?" Icha menaik turunkan kedua alisnya.
'Iya kamunya nyaman, tapi junior saya yang bisa enggak nyaman disuguhi pemandangan seperti itu!' ucap Andre dalam hati. Mengurut keningnya dan menyuruh Icha segera membuatkannya kopi. Rasanya pusing sekali.
Icha berjalan keluar ruangan untuk membuatkan Andre kopi, langkahnya ringan dan ceria, juga senyumnya yang terus terkembang, membuat Andre tak tega jika harus memecatnya hanya karena dia telah membangkitkan sesuatu yang telah lama terpendam.
Sesuatu yang terkubur rapat-rapat dan tak ingin dibukanya lagi. Namun dengan kurang ajarnya, wanita itu seolah menemukan tempat persembunyiannya, mengorek dan membukanya. Hingga Andre nyaris merasa tak mengenali dirinya lagi.
Setan kecil itu memang menyebalkan. Andre harus mencari cara agar wanita itu jadi lebih peka bahwa dia adalah lelaki dewasa dan untuk tidak bermain-main padanya.
Andre memikirkan beberapa kemungkinan hal yang bisa dilakukannya untuk menakut-nakuti setan kecil itu agar selalu waspada.
Ya dia harus melakukan cara itu! Setidaknya Icha akan lebih menjaga jarak padanya nanti. Karena sumpah demi apapun dia sudah mengikrarkan diri untuk tidak tertarik dengan wanita manapun lagi sejak kepergian kekasihnya sepuluh tahun yang lalu.
Malam hampir tiba, namun Andre masih berkutat dengan pekerjaan kantornya, dengan ragu Icha melangkah masuk setelah mengetuk pintu ruangan bosnya itu.
"Om, aku pulang duluan ya," tutur Icha, wanita itu sudah mengenakan blazzernya. Andre mendongak, dia ingin meminta tolong beberapa hal sebenarnya tapi tidak tega melihat Icha yang tampak kelelahan. Pekerjaan di awal bulan sangat banyak memang.
"Bisa bikinin kopi dulu cha?" tanya Andre, Icha mengangguk berjalan riang ke arah pantry dia akan segera pulang, perutnya sudah sangat lapar.
Setelah menyeduh kopi panas, dia berjalan ke arah Andre namun tak memperhatikan langkah hingga tersandung dan membuat kopi itu tumpah ke pahanya. Icha mengaduh dan berdiri, roknya basah.
Andre terkejut, segera bangkit dan membantu Icha, melihat rok Icha yang basah dengan kepulan asap tentu wanita itu masih kepanasan.
Andre segera menghela Icha ke dalam toilet. Duduk diatas closet yang telah ditutup, lalu Andre menyiram paha Icha dengan kran Shower. Andre berjongkok di hadapan Icha sambil terus menyirami paha nya yang memerah.
Icha seperti ingin menangis, berkali-kali Andre meniupi pahanya agar tak kepanasan. Aliran air terus mengguyur paha Icha, tak luput dari pandangan Andre ketika air itu meluncur mengenai celana dalamnya. Sialll Icha memang tidak mengenakan celana pendek. Andre menelan salivanya kasar, berdehem untuk mengusir pikiran buruk di otaknya.
"Makanya lain kali hati-hati,"
"Iya om," Icha menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.
"Mulai besok jangan pakai rok pendek lagi,"
"Kenapa Om?" Andre mendongak menatap wajah Icha dari jarak dekat, imut dan nampak menggemaskan, pandangannya terarah ke bibir Icha yang tampak ranum.
"Saya laki-laki Icha, kamu enggak takut saya tergoda?" Andre terus menatap tajam Icha dengan tangan yang masih memegang kran shower untuk mengaliri air.
Icha menggeleng yakin, serius dia tak takut Andre tergoda.
"Om enggak akan tergoda lah sama cewek kayak Icha, sama tante Tania aja enggak tergoda kan? Padahal dia seksi,"
"Tau darimana?"
"Staf lain," Icha cengengesan, sepertinya pahanya sudah tak kepanasan lagi.
"Kalau saya tiba-tiba ingin melakukan ini karena melihat busana kamu gimana?" Andre tak menunggu Icha menjawab karena dia segera melumat bibir Icha dengan rakus. Tangan sebelahnya digunakan untuk menahan tengkuk Icha agar tak menjauh, sementara tangan yang memegang shower tak sengaja menyiram kewanitaan sekretarisnya itu. Icha hanya terdiam tak membalas ciuman panas yang diberikan Andre, tepatnya dia tak mengerti cara membalasnya.
Hanya saja, bibir lelaki itu terasa manis dan penuh.
Icha berusaha menggeser kran shower karena telah membuatnya sangat basah, Andre melirik tangan Icha dan menjatuhkan shower itu, dia semakin mempererat pegangan pada tubuh Icha, melepas ciumannya dan membisikkan sesuatu di telinga Icha.
"Kalau begini? Dan saya tak bisa melepaskan lagi bagaimana?" tangan Andre mengusap paha Icha yang halus turun naik sampai ke pangkal paha dan mengusap kewanitaan Icha yang masih tertutup celana dalam.
Malam ini dia ingin memberi pelajaran pada setan kecil itu untuk tak menggodanya dengan berpakaian seksi.
Icha merasakan sesuatu tersengat dibawah sana, rasanya asing dan anehnya dia seolah mendamba sentuhan Andre di miliknya. Andre menjilat telinga Icha dan turun ke lehernya.
Sementara tangannya sudah mengelus paha ke lutut Icha.
"So, jangan pernah pakai pakaian seksi lagi dihadapan saya, karena saya lelaki normal!" ucapnya sebelum mengecup bibir Icha dan berdiri meninggalkan Icha yang tengah kebingungan.
Andre menarik nafas panjang diluar toilet, membuka dasinya dan melemparkan ke sofa.
Dia menjatuhkan bokongnya dan menyilang kaki. Tangannya mengurut pelipis yang rasanya berdenyut pusing.
Namun Icha tak jua keluar kamar mandi. Andre jadi merasa kasihan pada wanita itu. benaknya berpikir apakah dia terlalu kejam menghukum Icha hingga wanita itu ketakutan dan tak mau keluar dari toilet.
"Cha," panggil Andre.
"Ya om?" suara Icha terdengar biasa saja membuat Andre menghela nafas lega kekhawatirannya hilang seketika, saat Icha keluar dari kamar mandi dengan berjalan agak aneh.
"Kenapa?"
"Celana dalam aku basah, enggak bawa gantinya," Icha menunjukkan kepalan tangannya, dimana celana dalamnya sudah berada digenggaman tangan. Andre melongo, jadi wanita itu tak mengenakan apa-apa saat ini?
"Bawa hairdryer enggak?"
"Ada tapi di laci, aku ambil dulu ya?"
Diluar pasti ada security yang berkeliling dan Andre tak mau security itu berpikir yang tidak-tidak, karena itu dia yang mengambil hair dryer dan menyerahkan nya pada Icha.
"Colokin dimana?"
Andre baru ingat kalau colokan di walking closet kamar mandi rusak.
Diapun menunjuk colokan listrik dekat lemari.
Icha berjongkok membelakangi Andre dan mulai mengeringkan celananya.
"Om jangan ngintip," desisnya, membuat Andre mengeram kesal. Imajinasi liarnya jadi berkelana sekarang dan sial nya mengapa dia menjadi sangat penasaran pada setan cilik dihadapannya itu.
"Besok bawa baju ganti, satu set sekalian! Ini kunci ruangan itu, nanti bajunya letakkan disana aja ada lemari ganti saya, oke?" Andre meletakkan anak kunci itu di meja, Icha membalik tubuh dan mengangguk, Andre membuang muka tak mau melihat hal yang tak seharusnya diliat, diapun memutuskan untuk merokok di balkon yang tersambung dengan ruangannya.
Tak berapa lama Icha menyusulnya, "Om, aku pulang sekarang ya, kopinya mau dibikinin lagi enggak?"
Andre menoleh dan memperhatikan Icha yang telah mengenakan tas nya.
"Enggak, sebentar lagi juga saya pulang."
"Jadi aku bersihin bekas kopinya saja ya?"
"Sudah kamu pulang saja, nanti saya suruh cleaning service shift malam yang membersihkannya."
Icha pun pamit pulang, berjalan gontai memesan ojek online. Dia sangat lelah dan lapar.
***
Sesampainya dirumah, Icha mendapati rumahnya yang gelap. Dia menyalakan lampu dan meletakkan sepatunya di rak sepatu.
Berjalan kedapur dan harus menelan kekecewaan karena ternyata ibunya tak masak apa-apa hari ini.
Icha melihat kulkas, kosong! Tak ada bahan makanan. Sama seperti rak yang biasa berisi mie instan pun kosong.
Sejak kakak keduanya meninggal, keluarganya seperti berantakan.
Ibu yang biasa dipanggil Mami olehnya seringkali mengurung diri di kamar, meratapi nasib dan menangis.
Ayahnya jarang sekali pulang karena sering bekerja di luar kota.
Nanda, kakak pertamanya memang sudah tak tinggal disana, mempunyai apartmen sendiri. Namun berbeda dengan Dinda, yang dekat padanya.
Nanda justru sangat acuh dan tak pernah memperdulikannya. Icha merasa separuh hidupnya ikut pergi. Tak ada lagi tawa dirumah ini, tak ada kebersamaan lagi seperti dahulu.
Saat kuliah kemarin pun, ayahnya seringkali lupa memberikan uang jajan, harus selalu Icha yang meminta, kadang telepon ayahnya mati sehingga Icha harus menahan lapar.
Seringkali ayahnya menitip uang pada ibunya, namun ibu yang terlalu terpuruk seolah tak memikirkan masih ada satu nyawa yang perlu diurusnya.
Sebelum kerja, Icha seringkali memasak saat pagi, berhemat demi bisa menyimpan uang sampai ayah pulang.
Ibunya hanya makan sesuap dua suap lalu kembali tiduran di kamarnya, seolah tak punya semangat hidup.
Icha membuka pintu kamar ibunya, tampak ibunya lelap tertidur. Diapun menutup pintu dan berjalan gontai ke kamarnya.
Telungkup di ranjang sambil menangis, selama ini dia berusaha menjadi seorang yang ceria agar dianggap ada, agar tak membuat khawatir orangtuanya.
Dia terbiasa memasang senyum palsu yang terlihat tulus, agar  tak ada orang yang mengasihaninya.
Terlintas ucapan sekretaris lain yang ditemui semalam tadi, yang ditinggalkannya karena melihat para pria dengan pandangan menggoda.
Dia bilang, 'pekerjaan kita itu tidak mudah, banyak yang ingin mendapatkan posisi seperti kita, karena itu kita harus bertahan apapun yang terjadi, syukur-syukur kalau bos kita masih single dan mau menikahi kita. Jadi kita tetap bisa melanjutkan hidup dengan baik. Tanpa kekurangan'.
Itu yang membuat Icha tadi tetap menahan perlakuan Andre padanya. Dia membutuhkan pekerjaan ini, dia butuh uang untuk pergi dari rumah ini dan menata hidupnya sendiri.
Icha harus bertahan jika ingin tetap hidup. Karena itu dia mengirim pesan pada ayahnya.
"Pi, Icha lapar, mami enggak masak. Enggak ada apa-apa di dapur. Uang Icha tadi sisa dua puluh ribu untuk naik ojek soalnya Icha gak bisa naik bis, rok Icha basah. Papi kirimin Icha uang sekarang ya, plis Pi."
Icha mengirim pesan itu dan mencoba memejamkan mata, namun dering telepon membuyarkan kantuknya. Panggilan dari Andre. Icha menghapus air mata dan berdehem agar tak kentara bahwa dia habis menangis.
"Hello, Om boss, ada apa nelpon malam-malam?" tanya Icha dengan ceria.
"Kamu salah kirim pesan?" Icha membelalakkan mata, menekan tombol home dan mencari pesannya ternyata benar dia salah mengirim ke Andre. Kenapa pula mereka berdua tak memakai foto profil dan chat terakhirnya atas bawah, membuat Icha salah kirim tanpa memperhatikan isi teks sebelumnya.
"Maaf om, aku enggak sengaja, ngantuk hehe,"
"Hmm, kamu enggak ada uang? Kirim nomor rekening biar saya transfer,"
"Jangan Om, aku gak mau repotin Om,"
"Anggap aja ini kasbon, nanti dipotong gaji, gimana?"
Icha tampak berpikir, "Yaudah kalau gitu Om, tapi kirimin seperapat gaji aku aja yaa, soalnya aku ada keperluan urgent nanti pas gajian,"
Andre terdiam, membuat Icha menjauhkan handphone dan melihat apakah panggilannya masih tersambung? Namun tak nampak Andre memutuskan kontak.
"Hello om? Masih ada kan?"
"Ehm, iyaa  ya sudah kamu kirim sekarang nomor rekeningnya ya," Andre pun memutus panggilan tersebut. Icha segera mengirim nomor rekening, lalu mengcopy paste pesan memelas tadi untuk dikirim ke ayahnya.
Namun sayang pesannya pending, Icha merengut sebal, kebiasaan papi kalau lagi diluar kota, handphone sering mati. Sungutnya.
Namun manyunnya tak bertahan lama ketika ada sms masuk dari mobile banking yang menunjukkan nominal uang untuknya menyambung hidup.
Dengan segera, Icha memesan makanan via ojek online, perutnya sangat lapar saat ini. Dan makan biasanya mampu menghilangkan gundahnya.
Icha segera berganti baju dengan pakaian tidur, berupa piyama bergambar keropi, tak berapa lama pesanannya datang, diapun segera melahap makanannya dengan rakus.
Dengan begini, dia akan kekenyangan dan tidur pulas, sehingga saat bangun nanti dia akan lebih bisa menghadapi hidup dengan baik dan meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Icha mengetik pekerjaan nya di komputer kantor, mejanya sudah lumayan rapih karena beberapa dokumen yang ditata berdasarkan abjad dan diletakkan di lemari kaca belakang tempat duduknya.
Seorang wanita cantik membawa beberapa stel baju di tangannya yang telah terbungkus plastik rapih dengan gantungan berwarna putih menghampiri dan tersenyum padanya. Icha berdiri sopan dan tersenyum riang pada wanita yang beberapa hari lalu ditemuinya.
"Hai tante Nadhifa," Icha menyalami Nadhifa dan mencium punggung tangannya. Nadhifa masih sering terkekeh jika melihat keceriaan Icha yang lain daripada yang lain. Sepertinya wanita itu kerasan bekerja dengan lelaki seperti Andre.
"Andre ada?"
"Om Andre ada didalem tan, yuk masuk aja aku temenin, sini aku bantu bawa," Icha menerima tumpukan baju itu tanpa memperhatikannya.
"Kamu kerja kok manggilnya Om?"
"Abisan udah kebiasaan tante, eh tapi tante," Icha mendekatkan wajahnya setengah berbisik, "Tante jangan bilang siapa-siapa yaa, kalau di depan orang lain aku enggak boleh panggil Om, disuruh panggil Bapak hihi tua banget ya," Icha terkekeh geli, Nadhifa hanya tersenyum dan mengusap kepala wanita bertubuh mungil itu. Entah kenapa melihat kepolosan Icha menimbulkan rasa sayang di benaknya. Padahal dia baru sekali bertemu dengannya saat itu.
"Kok pakai celana panjang? Aku kan bilang pakai rok atau dress terusan lebih bagus buat kamu?" Nadhifa memperhatikan pakaian Icha yang nampak kebesaran.
"Iya tan, dua hari lalu ketumpahan kopi panas jd paha nya agak merah, udah mendingan sih sekarang, keliatan kebesaran ya tan?"
Nadhifa mengangguk, "Ini baju kakak aku hehe,"
"Oalah," Nadhifa hanya tersenyum geli melihat Icha, wanita itu sudah melakukan kebiasaan nya, mengetuk tiga kali lalu mendorong pintu ruang kerja Andre.
"Hai Ndre," Andhifa menyalami Andre dan menempelkan pipi kanan dan kirinya yang dibalas Andre dengan sumringah. Icha hanya mematung dengan senyum yang masih terkembang.
"Tante, bajunya aku taro sini ya," Icha meletakkan baju yang dia pikir punya Andre itu di sofa.
"Kamu mau kemana?" tanya Nadhifa.
"Keluar tante ada kerjaan,"
"Bikinin teh manis dulu cha," suruh Andre yang langsung diangguki oleh Icha, dia bergegas keluar ruangan dan menutup pintu.
Berjalan ke pantry untuk membuat segelas teh manis, namun dia urung, kembali lagi dan menyeduh satu lagi. Siapa tahu bosnya ingin teh manis juga, harusnya tadi dia bertanya apakah pria itu ingin minum teh manis?
Icha mendorong pintu dengan sikunya, karena tangannya dipakai memegang baki berisi dua cangkir teh panas.
Diletakkan dua  cangkir itu di meja, Andre mengangkat sebelah alisnya.
"Saya gak pesan teh manis, lagipula saya kurang suka yang manis-manis," Icha yang semula menyodorkan teh itu ke hadapan Andre segera menariknya kembali.
"Buat aku kok om," cicitnya pelan. Dia hanya menoleh dan tersenyum tak enak pada Nadhifa yang terlihat sudah menutupi mulut dengan tangan karena menahan tawa yang ingin meledak.
"Sinie, duduk," Nadhifa menepuk pelan sofa sampingnya, Icha melihat ke Andre seolah meminta persetujuan dan anggukan Andre adalah titahnya.
"Jadi, aku bawa banyak baju kerja ini untuk kamu Cha," tunjuk Nadhifa pada baju di sampingnya.
"Serius tan?"
"Iya Andre yang pesen, ini sesuai dengan selera dia kok,"
Andre berdehem canggung, "Bisa sakit mata saya lihat baju-baju kamu," gumanya yang bisa didengar jelas oleh Icha dan Nadhifa, tapi bukan Icha namanya jika tersinggung, karena wanita itu terlihat sudah pindah tempat duduk dan mengangkat baju itu satu-satu. Ada beberapa pasang kemeja dan celana high weist, juga dress terusan dengan panjang selutut kurang sedikit. Dan rok span yang mempunyai belahan paha tak terlalu tinggi.
Icha tampak berpikir keras, dia waktu ke butik Nadhifa sempat memperhatikan harga pakaian yang dijual disana dan cukup mahal untuk kantongnya. Maka diapun meletakkan kembali baju itu ke sofa dan menghapus senyum lebar di wajahnya.
"Ini potong gaji lagi ya Om? Aku kan bilang lagi ada pengeluaran urgent bulan ini, nanti aja bajunya ya Om, kalau keuangan aku udah stabil," Icha mencoba tersenyum terpaksa, semua baju itu sangat bagus dan pasti cocok ditubuhnya, tapi dia ingin sekali keluar dari rumahnya, dia butuh uang untuk bayar kost. ayahnya tak bisa diandalkan lagi saat ini.
ibunya justru seolah hidup tapi mati, tak punya semangat hidup, meskipun Icha seringkali mengajaknya keluar kamar dan mengobrol, namun dia justru seolah tak dianggap ada dirumah itu.
Andre mengusap hidung nya yang tidak gatal, mencari alasan yang tepat untuk tak menyinggung Icha, sementara Nadhifa hanya terdiam, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Anggap aja ini bonus atau hadiah karena ayah kita bersahabat. Ya kan?"  Andre merasa pilihan katanya tepat.
Icha menoleh ke arah Nadhifa yang sudah mengangguk dan tersenyum padanya. Icha pun kembali tersenyum lebar, mengambil baju itu dan memeluknya.
"Baiklah, janji jangan diambil lagi yaa bajunya, aku suka banget," ucapnya persis anak kecil.
"Iya, iya sudah sana taruh di ruang ganti dulu, kuncinya ada kan?" tanya Andre, Icha mengangguk dan membuka kamar yang terkunci di dalam ruangan Andre. Kamar yang tak pernah seorangpun mengunjunginya.
Icha menutup pintu itu, matanya membelalak melihat foto berukuran besar dimana terdapat Andre memeluk seorang wanita cantik bergaun hitam panjang.
Icha tahu, dia adalah tunangan Andre yang meninggal sepuluh tahun lalu. "Gimana mau move on kalau liat foto segede gaban gini setiap hari," desis Icha, di kamar itu terdapat beberapa lemari kaca yang didalamnya terdapat baju-baju Andre, mungkin kantor ini adalah rumah ketiganya.
Rumah utama yaitu bersama orangtuanya, rumah kedua adalah apartmen yang biasa di tinggalinya dan kantor ini, rumah ketiga. Karena ada kamar mandi lengkap dengan shower di dalamnya.
Ada pula ranjang berukuran single, meja kerja dan kursi putar. Ada satu sofa tunggal menghadap jendela.
Icha membuka salah satu lemari yang tampak masih agak kosong, diletakkan baju itu disana. Melirik ke kanan kiri, dituntaskan rasa penasarannya.
Berjalan menuju lemari yang agak tertutup, ternyata isi lemari itu hanyalah pakaian dalamnya, dasi, juga jam tangan. Ah apa sih yang Icha harapkan. Seolah sangat ingin tahu tentang bossnya itu.
Tak lama Icha pun keluar ruangan dan melihat Nadhifa yang sudah bersiap pergi.
"Tante mau kemana?"
"Mau kembali ke butik, tapi sebelum itu, temani aku makan siang ya," rayu Nadhifa. Icha mengangguk dan pamit pada Andre, sesampainya di pintu, Nadhifa menoleh pada Andre dan mengedipkan mata. Andre mengibaskan tangannya sambil cemberut seolah mengusir Nadhifa.
Nadhifa membawa mobilnya sendiri, sebuah rumah makan tak jauh dari kantor Andre dipilihnya.
Memesan salad sayuran sementara Icha memilih paket nasi lengkap dengan ayam kremes.
"Tante gak makan nasi?" tanya Icha sambil menyocol potongan daging ayam ke sambal, lalu menyuapnya.
"Udah beberapa tahun belakangan ini aku diet nasi, jadi hanya makan sayuran atau buah aja,"
"Serius tante?" mata Icha membelalak, membuah Nadhifa terkekeh geli dan mengangguk.
"Aku sih klo gak makan nasi sama aja belum makan tante hehe,"
"Tapi kan kamu enggak gemuk,"
"Aku sih curiga dari dulu kalau aku cacingan hihi," Icha menutup mulut dengan tangan, sementara Nadhifa sudah tertawa keras. Anak polos ini sungguh menghiburnya.
"Tan, aku mau nanya dari kemarin tapi aku ragu hehe," Icha memperhatikan wajah dan tubuh Nadhifa yang meskipun sudah memasuki usia empat puluh tahun tapi tampak kencang dan terawat.
"Tanya aja, ada apa?"
"Tante sebenernya udah nikah belum? Soalnya masih cantik banget, badannya langsing terawat,"
"Aku udah nikah, udah punya anak malah dua, yang satu SMA dan satu lagi SMP," Icha tercengang, anak Nadhifa ternyata sudah besar - besar, yaa mungkin kalau Andre tidak telat menikah juga anaknya pasti sudah besar.
"Yah, padahal kalau belum nikah, aku mau jodohin sama Om Andre,"
"Andre?" Alis Nadhifa terangkat satu, Icha mengangguk antusias, "Aku sama Andre tuh sahabatan banget dari jaman SMA kayaknya enggak mungkin ada love story diantara kita, lagian dia pemilih banget," tutur Nadhifa.
"Iya betul tante, apa-apa harus perfect," Icha menggidik, membayangkan banyak hal yang dilakukan Andre saat mendikte pekerjaannya.
Icha harus beberapa kali mengubah redaksi email hanya karena dia tak mau fontnya yang terlalu besar, terlalu kecil atau jenis huruf yang digunakan tak sesuai keinginannya.
Bahkan pada hari kedua kerja, Icha harus membuat kopi berulang kali hanya karena manisnya menurut dia belum pas.
Andre tak segan-segan melemparkan tatapan membunuh padanya, terkadang menggemeletukkan giginya saat geram dengan kelakuan Icha, kalau begitu Icha biasanya hanya bisa tersenyum terpaksa atau memilih kabur.
"Om Andre pacaran sama tunangannya lama ya Tan?"
"Olivia?" tanya Nadhifa, Icha mengangguk, ya Olivia adalah tunangan Andre yang meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya. "Mungkin sekitar dua tahun, hingga kemudian tunangan dan meninggal, Andre sudah tahu Olivia sakit sejak awal dekat. Namun sepertinya cinta mengalahkan logika. Dia tetap menginginkan pernikahan dengan wanita itu, dia support Olivia agar sembuh, namun takdir berkata lain, itu sebabnya dia sangat terpukul saat tunangannya meninggal dunia,"
"Om cinta banget sama dia kayaknya ya?"
"Ya, tapi gak apa-apa sudah lama berlalu kok, dia pasti sudah bisa buka hatinya sekarang," Nadhifa mengusap punggung tangan Icha, Icha mendelik.
"Kenapa tante ngomong kayak gini ke aku, kesannya aku naksir si Om?" sungut Icha dan lagi-lagi Nadhifa tersenyum misterius.
"Hehe enggak apa-apa kok, udah lanjutin makannya."
Icha manyun, usia yang terlampau jauh dari Andre membuatnya menghormati lelaki itu layaknya paman sendiri, mungkin kalau sama Kakak nya, Nanda mereka akan cocok. Kakak pertamanya itu sudah tiga kali gagal menikah dan kini entah bagaimana kabarnya karena sejak Dinda, kakak Keduanya meninggal dan membuat ibunya terpuruk, Nanda tak pernah lagi datang kerumah.
Icha pun tidak terlalu dekat dengan wanita itu sehingga dia hanya sesekali bertegur sapa di chat saja.
Setelah makan, Nadhifa mengantar Icha kembali ke kantor, hanya sampai lobby karena dia ada urusan lainnya. Icha melambaikan tangan saat mobil Nadhifa meninggalkan kantor.
Dia berjalan riang menuju lift. Beberapa karyawan menyapanya, dan Icha membalas sapaan itu dengan wajah sumringah, semuanya disapa tak terkecuali, termasuk security dan petugas kebersihan. Membuat Icha cepat dikenal karena keramahannya.
Hari ini Icha memakai baju yang diberikan Nadhifa kemarin, sebuah kemeja dengan lengan se siku dengan rok high weist yang jika dipakai olehnya menjadi berukuran lebih pendek, beberapa centi diatas lutut.
Pagi ini, wanita itu menyortir dokumen penting di meja Andre dan meletakkan sticker sign here pada kolom yang wajib dibubuhi tanda tangan Andre.
Saat lelaki itu baru datang dan langsung duduk di kursi kerjanya, melihat Icha dari atas sampai bawah hingga Icha ikut memandang tubuhnya sendiri, ada yang salah kah? Karena kening Andre tampak berkerut.
"Itu setelan dari Nadhifa?" Icha mengangguk, "kok roknya jadi pendek? Bukannya kemarin dilihat seharusnya dibawah lutut ya?"
"Oalah Om dikira kenapa? Ini kan memang modelnya begini, dipakai di pinggang tuh, jadi yaa panjangnya segini,"
"Turunin!" perintah Andre.
"Turunin gimana?"
"Ya pakainya dipinggul biar panjang,"
"Ih, si Om bercanda,"
"Serius!" Andre tampak meninggi kan suaranya. Icha pun menurut, diperosotkan roknya sampai pinggul hingga bawah roknya menutupi lutut.
"Bagus,"
"Apanya yang bagus? Om ini terlihat aneh, kayak putri duyung tau gak?" Icha mengerucutkan bibirnya sebal.
"Kalau putri duyung tuh sampai kaki panjangnya,"
"Ck Om gak tau mode," Icha berdecak sebal, dinaikkan lagi roknya seperti semula, sumpah menuruti Andre sama saja membunuh mode, bagaimana bisa pakai rok seperti itu di pinggul, karetnya bisa melar nanti ujung - ujungnya tak akan bisa terpakai lagi. "Aku mau bikin kopi dulu," potong Icha sebelum Andre protes lagi. Meninggalkan Andre yang masih menggeleng tak percaya.
Dia pun bingung dengan diri sendiri, semenjak kematian Olivia, dia bahkan tak pernah tertarik melihat wanita manapun, sampai dia merasa apakah dia impoten?
Sengaja pergi ke diskotik, bahkan melihat penari telanjang, namun juniornya seolah lelap tertidur hingga dia tak berhasrat lagi pada wanita, sempat berpikir apakah orientasi seksual nya berubah haluan, tapi dia pun tak pernah tertarik pada pria.
Namun ada yang beda dengan Icha, bahkan dia merasa hasratnya timbul hanya melihat Icha berpakaian mini, menyentuh wanita itu saat mengerjainya. Benar-benar ada yang aneh dirasakan olehnya.
Padahal dilihat dari manapun tubuh Icha yang mungil terlihat kurang seksi dimata orang lain mungkin, namun tidak dimata nya karena entah sejak kapan dia melihat Icha sangat seksi.
Icha sudah masuk ke ruangan Andre, meletakkan kopi dan sepiring kecil biskuit di mejanya.
Andre mengambil dokumen dan tak sengaja menyenggol pulpen hingga terjatuh, Icha pun spontan mengambil pulpen itu dengan menunduk tentu saja rok bagian belakangnya terangkat hingga menampilkan pahanya yang putih mulus. Tak luput dari pandangan Andre. Andre terpaksa menelan salivanya yang terasa tercekat membuang pandangan ke arah lain tentu lebih baik tapi sial nya mata seolah berkhianat, karena ingin terus menatapnya.
Icha menyerahkan pulpen itu dan pamit keluar, "Cha," panggil Andre saat wanita itu sudah memegang gagang pintu, Icha menoleh dan berkata ya, "Jam sepuluh siap-siap ya, ikut saya ke kantor dua," Icha pun mengangguk lantas keluar dari sana.
Kantor dua adalah kantor Andre yang terletak di Jakarta Timur, sementara Kantor satu di Jakarta pusat dan kantor tiga berada di daerah Tangerang.
Jika kantor satu adalah kantor penerbitan, maka kantor dua adalah kantor Advertising, mengurus periklanan di media sosial, media cetak dan elektronik. Kantor tiga tempat percetakan, sablon, spanduk, baliho dan sebagainya.
Andre lebih banyak menghabiskan waktu di kantor satu karena mempunyai kamar pribadi sendiri , beda halnya dengan kantor dua dan tiga yang hanya sesekali saja disinggahinya.
Andre sudah berada di kursi kemudi, sementara Icha di sampingnya, hari ini supir pribadinya izin tidak masuk karena ada urusan, jadilah dia yang mengendarai mobilnya sendiri.
Icha yang semula meletakkan tas di pangkuan, memindahkan tas itu ke kursi penumpang belakang, hingga pahanya lagi-lagi terekspos dan Andre harus terus fokus pada jalanan tak ingin melirik ke arah wanita itu terus.
Bahkan Icha terlihat sangat cuek, tak memperhatikan bahwa Andre seringkali mencuri pandang ke arahnya.
Sampai di kantor advertising, Andre langsung ke ruang meeting diikuti Icha yang diminta Andre menjadi notulen rapat.
Ada klien penting yang meminta dibuatkan iklan di televisi, sebuah produk coklat keluaran terbaru.
Staff advertising sudah hadir di ruangan itu dan memulai presentasi proposal kerjasama yang akan diberikan ke klien. Icha berada di sebrang Andre, tak ikut di meja bundar, karena dia justru berada di dekat pintu dan mencatat beberapa point penting.
Sepertinya Icha bosan, wanita itu berkali-kali merubah cara duduknya bahkan menyilangkan kakinya hingga lagi-lagi hal yang dihindari Andre terekspos. Tak ada yang memperhatikan Icha diruangan itu terkecuali Andre. Karena semuanya sedang fokus pada ide-ide yang akan digunakan untuk iklan tersebut.
"Jadi gimana pak?" tanya salah seorang karyawan, sial nya Andre tak mendengar ucapan dia karena memperhatikan Icha di sebrang sana. Tak mau terlihat tak profesional dia pun seolah berfikir.
"Buat slidenya dalam bentuk animasi dan kirim ke saya ya, ada beberapa ide kan tadi? Dikirim saja semuanya, nanti setelah saya putuskan baru kita rapat lagi membahas jadwal shooting dan pemeran yang kita pakai,"
Rapat diakhiri setelah satu jam lamanya. Dia dan Icha berjalan ke ruangan yang berada di lantai teratas.
Ruang kerja di kantor ini tak sebesar ruangan di kantor satu. Bahkan meja sekretaris saja berada di dalam ruangannya karena menghemat tempat yang bisa digunakan tim produksi.
Icha duduk di kursi nya sambil memindahkan catatan rapat tadi ke laptop yang selalu dibawa nya.
Andre berjalan ke pintu dan menguncinya, lalu menghampiri Icha dan mendorong kursinya, mengunci Icha dengan tangannya yang memegang pegangan kursi.
Icha mendongak tak mengerti, kenapa tiba-tiba bosnya itu bertingkah seperti ini, "Kenapa om? Ada yang salah ya?" Icha mencoba tenang dan tak terlihat takut.
"Saya kan udah bilang jangan memakai rok pendek, saya jadi terganggu, kalau sudah seperti ini, akan sulit berhenti bagi saya!" Andre memperingati Icha dengan suara beratnya. Icha justru tersenyum melihat Andre yang matanya telah berkilat.
"Yaudah om lakuin aja apa yang om ingin lakuin, jangan ditahan om, aku enggak apa-apa kok," ucap Icha, Andre masih menatapnya tajam, tanpa persetujuan Icha dicium bibir gadis itu, aroma strowberi dari lipstik Icha membakar gairahnya, semakin panas melumatnya. Bahkan tak seperti kejadian lalu, kali ini Icha berusaha membalas ciuman Andre dan mengalungkan tangan ke leher lelaki itu.
Dia mengakui tak bisa mengimbangi ciuman Andre yang terasa panas dan memabukkan itu, bahkan Icha merasakan jantungnya yang berdegup kencang dan seolah sesuatu membasahi celana dalamnya hanya dengan ciuman Andre, tangan Andre membuka kancing kemeja Icha, ditatap Icha yang masih membuka mata seolah meminta persetujuan, dan kedipan mata Icha adalah lampu hijau baginya.
Maka dia pun tak ragu melepas seluruh kancing kemeja Icha dan memasukkan tangannya dibalik kemeja itu, meremas payudara kenyal Icha yang masih tertutup Bra, Icha membantu Andre membuka kait bra nya dan dengan segera Andre memilin puting Icha hingga desahan kecil keluar dari mulut wanita itu. Bibir Andre terus melumat bibir Icha melesakkan lidahnya ke dalam mulut Icha.
Dia merasakan bahwa Icha belum mahir berciuman karena itu dia seolah menuntun lidah Icha agar memasuki mulutnya. Berhasil, Icha menjulurkan lidahnya dan Andre segera menghisap kuat-kuat lidah wanita itu, Icha seolah paham setelah gantian Andre melesakkan lidahnya lagi, diapun menghisap nya dengan rakus.
Tangan sebelah Andre tak tinggal diam, diusap paha Icha yang seharian ini sangat menganggu pandangannya, usapannya naik ke pangkal paha, mengelus kewanitaan Icha yang terhalang celana dalam, dapat dirasakan lembab disana.
Andre mengelus liang senggama Icha yang masih tertutup kain tipis itu naik dan turun, membuat Icha bergelinjang dan semakin semangat menghisap bibir dan lidah Andre, dia semakin menarik leher Andre untuk terus menempel padanya.
Andre merasa perlu menarik nafas, dia pun melepaskan ciumannya, melihat Icha yang telat bersemu merah, ditarik tangan Icha agar bangkit dan diapun menduduki kursi itu.
"Buka ya?" Andre meminta persetujuan Icha untuk membuka kemejanya yang masih tersampir ditubuhnya, Icha hanya mengangguk pasrah dan mengikuti kemauan Andre. Andre menghela Icha agar duduk dipangkuannya dengan posisi membelakangi lelaki itu.
Andre menarik keatas rok Icha dan memposisikan miliknya dibawah Icha, meskipun Andre masih berbusana lengkap sekarang.
Diremas dua bukit kembar Icha yang tampak ranum, ukurannya sangat pas ditangannya tidak terlalu besar namun sangat kencang seolah belum pernah terjamah.
Andre memindahkan tangan Icha kebelakang tubuhnya, membuat Icha agak memiringkan posisinya sementara dia memajukan wajahnya dan menciumi payudara Icha, Icha menggigit bibir bawahnya seolah menahan suaranya.
"Achh Om," satu lenguhan lepas dari bibirnya. Andre melepas pagutannya pada payudara Icha dan menarik wajah Icha, menciumnya sambil berbisik, "Ssstt jangan berisik," Lalu dia menggigit kecil bibir Icha seolah menghukumnya dan melepaskannya, kembali menciumi payudara Icha sementara tangan satunya memilin payudara sebelahnya.
Tangan Andre yang lain berusaha menurunkan celana dalam wanita itu dan mengusap kewanitaannya, tak sampai memasukkan jarinya, hanya memutar klitoris Icha yang membuat wanita itu menahan desahan erotis karena sensasi nikmat yang timbul. Andre terus memutar jarinya diatas klitoris wanita itu dan memasukkan ujung jarinya di liang senggama Icha tak sampai masuk karena dia masih belum tahu apakah Icha pernah melakukan hal ini sebelumnya?
Icha terus mengigit bibirnya karena jika tak begitu dia khawatir akan mendesah lagi, perlakuan Andre padanya membuat kewanitaannya berkedut dan sesuatu mendesaknya ingin keluar.
"Om, ahh aaaku mau pi-pis," ucap Icha pelan ditelinga Andre.
Andre mengangkat wajahnya dan menatap mata Icha yang sangat bergairah, dia akhirnya tahu bahwa wanita dipangkuannya belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.
"Pipis aja gak apa-apa, keluarin jangan ditahan," ucap Andre sebelum melumar bibir Icha, tangannya terus memainkan klitoris Icha hingga Icha merasa akan menyemburkan sesuatu, dihisap bibir Andre kuat-kuat diapun melentingkan tubuhnya dan melepaskan cairan kewanitaan nya yang membanjiri tangan Andre.
Andre masih mendiamkan ujung jarinya disana, sementara dengan perlahan melepaskan ciuman Icha.
"Om, maaf a-ku ngompol," Icha menunduk melihat tangan Andre yang basah namun dia merasakan cairan itu beda dari air seninya. Andre menyeringai dan mengecup pipi Icha.
"Itu bukan ngompol sayang, itu namanya orgasme," tutur Andre. Icha baru pertama kali merasakan ini tentu dia merasa asing dan bingung.
"Lega gak?" tanya Andre, Icha mengangguk.
"Kalau gitu kamu mau bikin saya juga lega seperti kamu?" tanya Andre pelan hampir berbisik di telinga Icha, Icha menoleh dan menatap Andre.
"Caranya om?" Andre mengangkat tubuh Icha yang hampir telanjang itu dia pun berdiri, membuka ikat pinggangnya dan menurunkan celananya sampai lutut.
Lalu dia kembali duduk, melihat tatapan polos Icha membuatnya semakin bergairah.
"Sekarang kamu buka celana saya," seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Icha menuruti kemauan bosnya itu. Kejantanan Andre langsung mencuat, terlihat sangat besar dan berkilat. Andre meminta Icha duduk di lantai, agak membungkuk mencium bibir Icha dan melesakkan lidahnya lagi hingga wanita itu menghisapnya kuat-kuat lalu dilepaskan ciuman itu.
"Kayak gitu caranya," Andre memegang lembut kepala Icha dan menarik pelan menuju kejantanannya, Icha pernah sekali melihat hal ini, itupun secara tak sengaja saat teman kampusnya mengerjainya dengan mengirimkan video blow job yang dia bilang itu bahan presentasi. Beruntung Icha mengeceknya video itu di kamar dan ternyata pengetahuan itu berguna saat ini.
"Jilat Cha, seperti kamu makan es krim," suruh Andre, Icha menurutinya, dijilat kejantanan Andre dari atas kebawah sampai ke buah zakarnya. Tangannya ikut memegangi kejantanan yang ukurannya sepertinya semakin besar karena menegang itu.
"Masukin ke mulut Cha, hisap."
Icha memasukkannya ke mulutnya dan menghisap, kelamaan dia menikmati seolah menghisap lollipop tapi kali ini berukuran sangat besar.
Ditambah tangan Andre yang memainkan payudaranya membuat dia semakin bernafsu dan terus menghisap serta mengulumnya.
Andre mengarahkan tangan Icha untuk mengurut batang kejantanannya yang tak muat dalam mulutnya, Icha benar-benar menurut dan Andre merasa senang, sifatnya yang superior membuatnya bangga jika bisa membuat seseorang menuruti perintahnya.
Lama Icha melakukan itu hingga rasanya seperti kesemutan di kaki, padahal dia lihat video berdurasi tiga menit itu sangat cepat pria nya mengeluarkan cairan putih kental tersebut.
Icha menarik nafas dan mendongak, tampak Andre masih mendongak seolah menikmatinya, Andre menunduk melihat Icha yang memperhatikan nya lekat.
"Masih lama ya Om?"
"Kamu pegel ya?" tanya Andre dan Icha mengangguk dia hampir saja sampai dan tak mau menundanya diapun berdiri dan duduk di meja Icha, menyingkirkan beberapa benda di meja itu, lalu menyuruh Icha duduk di kursi tadi.
Menarik kursi itu agar Icha mendekatkan wajahnya,  "Seharusnya dikit lagi kalau dimasukkin ke punya kamu, tapi saya tidak mau karena kamu masih perawan, jadi pakai mulut lagi aja ya, yang kuat hisapnya saya bantu tangan kamu,"  Andre mengecup kening Icha seolah memberinya kekuatan lagi, Icha pun melumat kejantanan Andre dan menaik turunkan tangannya, dibantu Andre, tak berapa lama Andre meminta Icha mengangkat wajahnya.
Dan tangan Icha masih berada dibawah tangannya untuk mengocok kejantanannya secara cepat. Andre mendongak dengan mata terpejam lalu keluarlah cairan berwarna putih kental itu membasahi tangan mereka berdua.
Tangan Andre terulur mengambil tissue dan membersihkan tangan Icha juga tangannya dan kejantanannya. Untuk pertama kalinya Andre tersenyum tulus pada Icha. Mengecup kening Icha lagi dan mengucapkan terima kasih. Membuat pipi Icha bersemu dan dia ikut merasa senang.
Andre memakai celanya dan ikat pinggang nya kembali, sementara Icha memakai bra dan celana dalamnya yang terhempas di lantai.
Saat akan mengancingi kemejanya, Andre membantunya seperti memakaikan anak pakaian sekolah dengan lembut dikancingi kemeja Icha satu-satu sampai di kancing paling atas, dia mencium bibir Icha lembut dan meninggalkan Icha menuju toilet.
Icha memegang pipinya yang panas, senyum terus terkembang di bibirnya, ternyata dia bisa juga membuat Andre tersenyum dan seolah bangga akan hal itu. Icha masih merapikan roknya ketika Andre keluar dari toilet dan kembali menghampiri Icha. Jantung Icha berdetak tak karuan ketika Andre mendekatkan wajahnya dan berbisik, "bersihin dulu sana, habis ini kita makan siang terus ke kantor satu," ucap Andre sambil menepuk bokong Icha dan berjalan ke mejanya.
Icha bergegas ke toilet, membersihkan kewanitaan nya yang masih terasa basah, mencucinya dengan sabun agar tak kentara aroma khas miliknya.
Saat keluar toilet dia melihat Andre yang sudah membuka kunci pintu dan membereskan mejanya. Ichapun ikut membereskan meja miliknya dan memasukkan laptop ke tas.
Menyemprot parfum ke baju dan lehernya. Lalu  ikut berjalan keluar mengekor Andre. Sudah hampir pukul dua ketika mereka meninggalkan kantor itu dan menuju rumah makan padang di dekat kantor.

*****
Unduh Innovel untuk membaca #THE DISTANCE

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=156976702706906&id=101589544912289