Senin, 26 Juni 2017

Fitnah atau bukan ?

TENTANG AFI NIHAYA FARADISA DAN INDONESIA
Oleh: Afi Nihaya Faradisa
Kita mengenal Afi sebagai sebuah anomali, sebagai gadis yang menulis esai berisi isu kebangsaan yang dishare puluhan ribu orang dalam waktu kurang dari sepekan.

18 tahun.
Masih SMA.
Berjilbab.
Dari Kabupaten Banyuwangi, sebuah tempat di ujung timur pulau Jawa yang jaraknya ribuan kilometer dari ibukota Indonesia.

Siapa sangka?
Kemunculannya pun sontak jadi fenomena.
Tak menunggu lama, sorot lampu utama mengarah padanya. Sorot lampu yang sama tentu takkan didapatkan oleh Mustofa Bisri, Rhenald Kasali, atau Dahlan Iskan seandainya WARISAN adalah buah karya salah satu diantara mereka.

Bagi yang mencintai kebhinnekaan negara ini melampaui sentimen-sentimen SARA, bagi mereka yang menjadikan pancasila norma utama, kehadiran Afi seolah menjadi angin segar karena gadis tersebut dengan lantang menyuarakan apa yang selama ini tak berani disuarakan oleh orang-orang yang kita sebut berdiri sebagai 'silent majority'.
Mereka begitu peduli, tapi tak lantas hal itu memantik rasa berani. Tak mungkin keluar isi hati jika tak ada nyali, sehingga keberadaan si Afi akhirnya memiliki arti.

Mulut-mulut yang tak kelihatan itu seolah berteriak, "Hey, bukalah mata! Ini lho anak SMA saja lebih tahu keberagaman dibandingkan kalian semua. Kalian yang sudah tua-tua tidak bisa mikir kayak dia apa?!"

Plakkkk!

Kontan saja hal itu menjadi tamparan keras bagi kubu anu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa waktu terakhir, karena pilkada dan isu-isu lain yang menyeruak di belakangnya, polarisasi di negara ini kian sulit ditampik lagi.

Afi ada di pusaran dilema. Dia hanya seorang gadis yang tertatih-tatih untuk berkarya di tengah segala keterbatasannya. Dia hanya gadis yang menulis karena ia mencintai keutuhan negara, itu saja.
Tapi, keberadaannya yang sudah terlanjur dipersepsikan sebagai "amunisi" menyulut keresahan pihak-pihak yang merasa terkoyak kepentingannya.

Dan hari yang ditunggu pun tiba: sebuah realita terbuka.

Aku, Afi Nihaya Faradisa, terbukti melakukan plagiarisme. Di dunia kepenulisan, menyalin sebagian atau seluruh tulisan orang lain tanpa mencantumkan sumber adalah sesuatu yang memalukan, sesuatu yang amat mengecewakan. Sesuatu yang tidak bisa dibenarkan dengan bermacam alasan.
Menyadari hal ini, aku menyampaikan apology dua kali.
Dan hari ini, dengan segala kerendahan hati, aku ingin sampaikan bahwa kutahu aku mengecewakanmu, para pembaca tulisan-tulisanku. Aku tahu aku merusak kepercayaan kalian.

Terlepas dari semua, aku lupa bahwa ini Indonesia. Tak peduli aku telah minta maaf berapa kali, tak peduli pula berapa kali aku berjanji takkan mengulanginya lagi; aku tetap menerima sederet bully, tanpa henti. Mereka harus terus membully sampai aku mati rasa sepertinya.

"Agama itu bukan warisan, dasar bocah sesat!"
(Maaf, aku lupa bahwa begitu aku lahir, aku langsung bisa mengucap syahadat. Setelah dewasa, sudah imani saja jangan banyak tanya ;) )

"Anak kecil penemu listrik dari pohon kedondong lebih layak untuk diberikan penghargaan!"

"Omaigat! Ternyata terkenal dari hasil plagiat!"
(Padahal tulisan WARISAN yang membuat Afi viral adalah karya Afi sendiri)

"Afi penipu! kau jauh sekali dari tulisan dan bicaramu yang sok bijaksana itu!"

"Afi, kamu malu-maluin aja!"

Dan sederet kalimat-kalimat lainnya yang akan terlalu panjang kalau semua kutampilkan.

Ada apa dengan kita?

Tidak sampai di sana saja.

Media-media yang tadinya sudah punya tendensi terhadapku, mereka ramai-ramai menulis berita palsu. Dan parahnya, begitu banyak yang percaya tanpa tabayyun atau konfirmasi padaku lebih dulu.
Kau boleh seratus persen percaya pada media cetak dan televisi yang memang kredibel, tapi situs dan portal online kerapkali menyuguhkan berita yang sungguh jauh dari fakta yang sebenarnya.
Tujuan utama mereka adalah menjaring pembaca dan melampiaskan tendensinya, itu saja. Kebenaran diletakkan nomor sekian.

Contohnya adalah kasus yang akan kuceritakan ini.
Kau pasti sudah membaca beritaku yang terkait dengan sekolah, guru-guru, dan teman-temanku kan? Asal kau tahu saja, yang memuat dan memviralkan kebohongan tersebut nya adalah situs yang juga menyuguhkan hoax konyol Gaj Ahmada! Betapa ironisnya. Situs tersebut adalah gemarakyat(dot)id.
Dan berita palsu tentangku itu selanjutnya ikut-ikutan dishare oleh voa-islam(dot)com, suaranews(dot)com, muslimcyber(dot)net, opinibangsa(dot)id, eramuslim(dot)com, tarbiyah(dot)net, beritaislam(dot)info, serta sederet portal berita yang berisi konten abal-abal lainnya.
Terkait hal ini, tolong jangan dikaitkan dengan nama-namanya yang berbau agama tertentu. Kita semua tahu bahwa sebuah agama tetaplah sempurna, tapi kualitas pemeluknya lah yang entah seperti apa.

Mengapa isi berita dari situs-situs tersebut sama abal-abalnya? Karena situs berita lain yang patut dipercaya pasti liputan ke lapangan untuk dapat berita yang baik (aku paham betul karena aku cukup familiar dengan kerja media-media), tapi mereka tidak. Lantas mereka dapat berita dari mana? Hahaha 😂

Dan yang paling ironis diantara semuanya adalah: Beberapa dari situs yang telah kusebutkan di atas baru saja diblokir oleh Kementrian Kominfo RI pada Januari lalu karena terbukti mengandung konten negatif, seperti ujaran kebencian, fitnah, provokasi, SARA, hingga penghinaan terhadap simbol negara. (Seperti pernyataan dari Noor Iza, Kepala Humas Kominfo RI).

Kawan, aku heran mengapa begitu banyak orang yang menghalalkan segala cara hanya untuk mencapai tujuannya. Tapi aku lebih heran mengapa banyak orang yang masih percaya 😂

Mengapa untuk hal sesederhana ini saja masih harus diterangkan sedemikian rupa? :/

Aku juga heran ketika beredar pernyataan-pernyataan yang seolah itu dari Afi, salah satunya adalah pernyataan: "Jangan jadikan kitab suci sebagai kebenaran yang mutlak."
Aku TIDAK PERNAH membuat pernyataan demikian di tulisan maupun lisan. Itu hanyalah ulah orang yang memelintir kalimat-kalimatku dari video-video talkshow di youtube.
Aku telah menahan diri lama sekali, karena yang membuat pernyataan palsu itu tersebar adalah akun atasnama Gilang Kayuza Shimura, apa yang akan dipikirkan masyakarat seandainya mereka tahu bahwa mahasiswa S2 di Jerman menyebarkan fitnah dan hoax? 😂
Apakah lupa bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?

Selain itu, layaknya Patih Gajah Mada yang namanya diplesetkan jadi Gaj Ahmada entah untuk apa, ada manusia(?) bernama Winda Luri yang mengarang bebas tentang arti nama anagramku jadi "Apakah di akhirat ada surga". Benar-benar kecerdasan yang di luar nalar. Ijinkan aku berguru padamu, Bu.
Kira-kira kalau aku membuat anagram Asa Firda Inayah jadi Afi Hayani Rafasadi, artinya apa ya? Barangkali "Apakah di hatiku ada kamu"? Eaaaa 😂

Oh iya,
Terkait tudingan miring yang tertuju padaku karena ulah-ulah tak bertanggung jawab dari akun palsu, aku sudah lelah mengingatkan bahwa akunku yang asli di FB hanya akun INI.

Lagipula, membuat editan skrinsot itu mudah, sangat mudah. Cuma modal menguasai keterampilan dasar aplikasi edit gambar, dan abrakadabra! Jadi deh fitnahannya 😂
Tinggal luncurkan saja di akun-akunmu serta dibumbui sedikit provokasi dan ngarang sana-sini, maka dalam hitungan detik targetmu ini bisa mendulang makian. Coba kau pikir, bagaimana rasanya bangun tidur tak tahu apa-apa dan tiba-tiba disodori tuduhan segala macam? Wah 😍

Tentu saja aku kecewa melihat fakta bahwa bully justru gencar dikirim oleh akun-akun yang acapkali diisi dengan post berbau agama (terutama di IG).
Mengapa pula rajin meneriakkan kecintaan pada Tuhan tapi di lain sisi tak henti menghina ciptaan-Nya?

Mengapa aku begitu gencar dibully? Mengapa copas di FB menjadi masalah yang sedemikian berarti?
Jika mau jujur, semua orang pernah melakukannya tanpa terkecuali (tidak usah jauh-jauh, bahkan untuk hal sesederhana ucapan-ucapan Idulfitri dan tetek bengeknya saja copas kok).

Karena aku menulis WARISAN.
Karena keutuhan NKRI ini mengancam orang-orang yang punya kepentingan.
Karena aku berbicara pada seminar-seminar  di kampus ternama di depan para profesor dan akademisi.
Karena aku berbincang hampir 2 jam secara live di TV nasional.
Karena aku diundang RI 1 untuk menghadiri upacara Hari Lahir Pancasila yang dirayakan untuk pertama kalinya oleh negara.

Karena aku tidak seperti mereka: para pembully di luar sana.

Coba pikirkan lagi, jika followersku cuma 5 biji, akankah copasku dipermasalahkan sampai seperti ini?

Jangankan kebiasaan copas para pembully yang belakangan ini mendadak jadi pakar bab plagiarisme,
Bahkan pengarang sekelas Chairil Anwar, Buya Hamka, atau WS Rendra saja pernah diterpa masalah yang sama, bedanya cuma belum ada sosial media.

Lagipula, aku menulis di akun pribadi. Aku tidak pernah sekalipun meminta untuk dibaca, dilike, atau dishare. Kalau tidak suka, ya jangan dibaca apalagi buang jatah umur untuk komentar. Jadi, kalau memang tidak suka, kenapa masih setia berada di barisan followers? Aneh sekali.

Bagi sebagian orang, aku seperti merusak jutaan harapan, angan-angan tentang kesempurnaan yang gagal kuwujudkan.

Nah, sekarang bagaimana?
Plagiarisme itu kesalahan, dan tetap akan menjadi sebuah kesalahan.
Tapi, apakah lantas hal itu sah dijadikan pembenaran,
Untuk membullyku sedemikian kejam?

Ah, aku lupa. Aku pernah ada di posisi mereka: para pembully di luar sana. Aku pernah memfollow akun orang hanya untuk membully saja ketika postingannya lewat di beranda.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, aku sedang sakit secara psikologis. Aku punya masalah lain di dunia nyata, karena tak bisa melampiaskan emosiku di sana, aku melampiaskannya saja pada siapapun di dunia maya. Aku bully dia, padahal kenal saja tidak. (Kalau kamu baca ini, tolong maafkan Afi)
Kau tahu, hidupku saat itu tidak bahagia, jadi aku iri ketika melihat orang lain tampak bahagia. Aku ingin merusaknya!
Oh, bukankah diriku yang dulu sangat menyedihkan? Bukannya marah, kau justru harus kasihan kan?
Ada sebuah ungkapan bahasa Inggris yang sangat terkenal, hurt people hurt people. Orang yang sakit menyakiti orang. Itu benar.
Sebab, tak ada manusia waras yang berkeliling hanya untuk menyakiti manusia lain.
Menurut seorang ilmuwan bidang komputer dan jaringan, Jennifer Golbeck, Ph.D, orang yang suka nge-troll atau membully di internet sebenarnya adalah psikopat narsis. Mereka bertindak demikian supaya diperhatikan oleh orang yang bersangkutan.

Tapi aku lupa bahwa ini Indonesia, tempat di mana pesulap yang tampil memukau di Amerika justru dicaci di negaranya sendiri. Tempat di mana atlet bulutangkis Denmark yang tak tahu apa-apa bisa dibully di akun pribadinya oleh netizen Indonesia

Mengapa? Sebab, memang seperti itulah kualitas sebagian netizen Indonesia (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).
Apapun yang kita lakukan, apapun yang kita katakan, sulit untuk tidak berharap dibully di sini.

Memangnya apa sih yang bisa kita harapkan dari kualitas netizen indonesia yang hobinya menyimak akun-akun gosip, yang tidak merasa bersalah nyebar hoax asal sesuai tendensi pribadi, yang hobi memviralkan batu ponari atau tuyul ketangkap dalam botol, dan diskusi paling berkualitasnya adalah tentang kaleng khong guan isi rengginang.

Memangnya mau berharap apa dari sebagian netizen Indonesia yang seperti mereka?

Mengapa bullying online (cyber bullying) bisa sangat buruk?
Karena mereka bisa menyerang secara sangat masif dan jahat tapi tetap aman tersembunyi di balik akun-akun anonim.
Karena orang-orang di internet ini lebih bebas untuk bertindak apa saja karena merasa lepas dari segala konsekuensinya.

Mereka mungkin bisa lolos dari jerat hukuman undang-undang, tapi bisakah mereka lolos dari jerat hukuman Tuhan?

Dan pada dasarnya aku adalah orang yang perasa dan sangat peka. Benar-benar kombinasi yang buruk untuk jadi terkenal.

Di tengah menulis ini, ingatanku tiba-tiba melayang kepada pria yang pernah mengundangku untuk berbincang secara pribadi, pria yang kuajak berfoto selfie tanggal 1 Juni, pria terkurus dalam sejarah pemimpin negeri ini.
Dengan segala kekurangannya, di tengah terpaan bully yang begitu hebat di luar sana,
Ia tahu bahwa pencapaian sebagus apapun pasti menuai pro kontra.
Ia tahu bahwa mustahil menyeragamkan apalagi memuaskan jutaan isi kepala dalam waktu yang sama.
Ia tahu bahwa tindakan selalu terdengar lebih lantang daripada sekadar berisiknya kata-kata, apalagi cuma di dunia maya.
Ia tahu bahwa tak ada gunanya mengemis pengakuan di mata orang kalau kerjanya buruk di mata Tuhan.
Ia tahu bahwa pembenci memang hanya akan membenci, apapun yang terjadi.
Ia tahu bahwa apapun yang ia katakan atau lakukan, orang selalu menemukan hal untuk dikomentari.
Ia tahu bahwa langit tak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi.
Ia telah selesai dengan dirinya sendiri.

Pasti ada yang menganggapku berusaha mengangkat lagi isu yang sudah basi, menyombongkan diri, atau bahkan menganggapku berlebihan, tapi biarkan saja, mereka tidak pernah difitnah media-media.
Omongan mereka tidak pernah dipelintir sedemikian rupa untuk menghancurkan nama.
Mereka tidak pernah memegang akun FB dan akun IG sehingga mereka tak pernah tahu rasanya tiap detik menerima pesan-pesan kebencian (dan masih berlanjut sampai detik ini. Kapan-kapan akan aku unggah sebagian skrinsotnya).
Mereka tak pernah tahu bahwa bukan hanya itu saja, tapi para haters juga membuat ribuan post terbuka, menandaiku, dan menyerangku di sana secara membabi buta dengan meme, video, berita palsu, dan bully-bully yang tak manusiawi.
Mereka juga tak pernah diancam akan dibunuh lewat telepon jam 3 pagi.
Mereka tak mengerti.

Tentang aku dan WARISAN yang masih ramai sampai sekarang ini,
Aku sepenuhnya sadar siapa saja yang kuhadapi.
Mengapa kalian kelabakan menarik ratusan ribu orang hanya untuk 'menghancurkan' seorang anak 18 tahun?
Yang pasti, aku tidak takut! Aku telah menulis jauh sebelum semua ini terjadi. Aku tidak akan berhenti.

Dan untukmu yang membaca ini, aku tak bisa mengendalikan situasi, tapi aku bisa mengendalikan respon mentalku sendiri.
Perlu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan diri, tapi hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya seketika :)
Dan jika kau mengalami hal yang serupa, percayalah bahwa kau jauh lebih membutuhkan DIRIMU daripada membutuhkan mereka. Dirimu yang waras, yang percaya diri, yang selalu yakin pada mimpi-mimpi. Apakah jika kau hancur mereka akan selalu ada untuk mengusap punggungmu dan berkata "semua akan baik-baik saja"?
Aku mencintai Indonesia, dan aku tidak sudi jika hanya dimanfaatkan pihak tertentu saja, aku juga tidak sudi diajak berkompromi dengan iming-iming uang hanya karena aku tidak berasal dari keluarga kaya.
Aku tidak berafisiliasi pada partai politik manapun.
Biar saja orang mau berkata apa.
Biar saja mereka tak percaya bahwa anak SMA juga bisa menulis. Yang pasti, sebelum ada FB aku sudah mulai menulis sejak SD di buku diary. Berarti itu sudah lebih dari 6 tahun yang lalu.
Jika aku tak punya uang, aku pinjam buku guru, teman, atau siapapun yang penting aku tetap bisa membaca. Orang berkata "Tak ada yang bisa mengalahkan jam terbang", maka aku selalu menyempatkan waktu di sela kejamnya tekanan kelas 12 untuk menulis di akun medsosku. Menulis di tengah malam setelah bergulat dengan setumpuk pelajaran seharian tidaklah mudah, semata-mata kulakukan agar aku berkembang.
Kau tahu, mie instan saja tidak bisa dimakan secara instan, kan?
Dan mereka yang hanya mengikuti perkembanganku dari akun-akun gosip, portal berita abal-abal, atau akun provokatif tentu saja bisa ditebak sikapnya seperti apa.
Biarkan haters bicara dan bertindak sesuka mereka. Bagaimanapun, aku tidak mungkin berharap bahwa 250 juta orang Indonesia waras semua.

Seorang bijak pernah berkata, "Kau tidak akan pernah tahu seberapa kuat dirimu sampai menjadi kuat adalah satu-satunya pilihan yang kau miliki."

Dan pada akhirnya, aku percaya bahwa yang mencintai dan yang peduli padaku (begitu pula padamu) jauh lebih banyak daripada yang aku dan yang kau bayangkan.
Terimakasih terimakasih terimakasih 😊😊😊🙏

Tulisan ini menjadi penanda bahwa mulai saat ini aku hanya akan berfokus pada mereka yang mencintai, mereka yang peduli, dan segala rahmat yang telah kuterima dari Yang Maha Kuasa.
Bukankah Tuhan sendiri yang berkata bahwa Dia selalu bekerja sesuai prasangka hamba-Nya?

Selamat merayakan Idulfitri (beginilah penulisan yang benar sesuai KBBI).
Mohon maaf lahir dan batin.

"Not everyone will understand your journey. And that’s fine. You have to realize that it’s not their journey to make sense of. It’s yours." - Zero Dean

Tidak ada komentar:

Posting Komentar