Rabu, 12 Oktober 2016

Generasi Aqil Baligh

Generasi Aqil Baligh

“Apa yang membuat anak muda tertarik dengan ISIS atau NII?

Mengapa seorang anak berusia 13 tahun bisa mengendarai mobil balap dan menewaskan banyak orang?

Mengapa anak muda tawuran?

Mengapa anak muda pakai narkoba?”

Berdasarkan catatan di bagian prevensi BNN, penangkapan ternyata hanya memiliki efek keberhasilan 2%. Bahkan rehabilitasi tingkat keberhasilannya hanya 6%. Artinya jika 100 orang direhabilitasi, 94 orang akan kembali menjadi pemakai.

Bung Karno pernah berkata, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”

Sekarang umumnya berkata, “Beri aku satu remaja, pusing awak dibuatnya.”

Pemuda memang identik dengan semangat perubahan. Ini merupakan salah satu penyebab mengapa pada masa Rasullullah, Islam lebih berkembang di Madinah daripada di Mekah. Saat itu di Madinah lebih banyak penduduk mudanya, dibandingkan dengan Mekah yang lebih banyak penduduk berusia lanjut.

Di masa awal kemerdekaan, kita bisa lihat bagaimana para pemuda seperti Bung Karno, HOS Tjokroaminoto, dan lain-lain mampu memimpin perundingan antar negara pada usia mudanya. Mereka menyerukan sumpah pemuda untuk mempersatukan bangsa. Dalam catatan sejarah, dengan geniusnya mereka memilih bahasa melayu yang egaliter sebagai bahasa persatuan.

Pertanyaannya, mengapa kualitas generasi muda saat ini menurun?

Konsep Remaja

Istilah remaja adalah istilah yang baru dikenal pada akhir abad 19. Sebelumnya tidak ada istilah itu. Dalam sebuah penelitian ilmiah pada suku-suku terasing di Samoa, Papua, Baduy Dalam, ciri-ciri keremajaan itu tidak tampak pada masyarakat di sana. Dalam dunia kedokteran, hanya ada istilah Pedagogi untuk anak dan Andragogi untuk Dewasa. Tidak ada istilah remaja.

Remaja dalam fenomena sosial sekarang lebih merupakan tragedi. Sebuah generasi banci sosial, tidak produktif, bahkan konsumtif dan destruktif, bukan anak tapi belum dewasa.

Kalau anak minta uang, kita berkata, “Kamu sudah besar, minta duit melulu”
Kalau anak minta kawin, kita berkata, “Kamu masih kecil, sudah minta kawin”

Konsep remaja itu seakan mendapat pembenaran ilmiah, sosial bahkan agama. Kita mengenal istilah remaja masjid. Inilah kelemahan science yang hanya bicara tentang fakta. Jika dalam populasi ada 10% banci, maka kita akan menyebutkan bahwa jenis kelamin itu ada 3. Demikian juga dengan remaja, yang sebenarnya tidak ada.

Aqil Baligh dalam Islam

Islam mengenal istilah Aqil Baligh. Baligh adalah kedewasaan fisik, sedangkan Aqil adalah kedewasaan mental. Masalah terjadi ketika Baligh dan Aqil ini tidak sepaket. Baligh berhubungan dengan nutrisi. Para orangtua memang sukses dengan memberi nutrisi pada anak, sehingga kini masa baligh bisa terjadi pada usia sangat dini seperti 9 tahun.

Sedangkan Aqil berhubungan dengan kedewasaan mental, yang menurut teori psikologi makin lama makin lambat munculnya. Kedewasaan mental kini muncul di usia 22-24 tahun. Di sinilah masalah muncul. Kita diperkenalkan istilah remaja, sudah Baligh tetapi belum Aqil. Terciptalah periode transisi dalam rentang yang panjang. Dalam Al Quran disebutkan mengenai perlunya kita berlindung dari masa-masa transisi seperti ini.

Dalam Islam, Aqil dan Baligh disiapkan dalam 1 paket, tidak boleh dipisah-pisah. Paling lambat usia 15 tahun Aqil dan Baligh itu sudah bisa tercapai. Bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung-jawab meng-aqil-baligh-kan anak?

Perlu dipahami bahwa penanggungjawab utama pendidikan adalah Ayah, bukan Bunda! Bunda adalah pelaksana pendidikan. Dalam sejumlah referensi islami ditemukan tokoh parenting yang terkenal adalah laki-laki. Ada nama Luqmanul Hakim, seorang budak berkulit hitam yang petuah-petuah untuk anak-anaknya menjadi referensi parenting hingga kini. Namanya bahkan diabadikan dalam Al Quran.

Saat ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi sekedar buruh. Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas kurang. Tidak ada kualitas tanpa kuantitas yang cukup.

Bersama sejumlah pakar parenting lain, muncul gagasan untuk menciptakan model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu lebih untuk mendidik anak-anaknya. Namun, ayah tak boleh serakah. “Kalau 4 jam bisa dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat 60 juta.”

Terkadang para Ayah pulang membawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.” Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena merasa sebagai pencari nafkah.

Salah satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan urusan cari uang. Makanya, berpikirlah matang-matang kalau mau berpoligami.

Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak. Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang. Jadi dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu luang disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa anak-anak mereka. Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah sebagai kegiatan utama tempat orangtua buang anak, sehingga orangtuanya merasa bisa tenang mencari uang untuk membayar sekolah. Sebuah ironi.

Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci kebatilan, jangan dipisah-pisah.

Mengapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?
Mengapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?
Ini karena sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.

Kita lebih mengutamakan ibadah dan akhlak, sementara akidah tertinggal di belakang. Ibadah dan Akhlak inilah yang menjadi jualan sekolah-sekolah sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. Padahal yang penting itu akidah atau fondasinya. Namanya juga fondasi, sering tidak kelihatan pada awalnya.

Sekolah akan mengajarkan sholat, tapi tidak bisa bertanggung jawab untuk kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang aneh ketika mendengar komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus sarjana dan sudah hafizh Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”

Pendidikan kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda dielus oleh ibu dengan dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja. Allah menitipkan hikmah pada orangtua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa didelegasikan kepada siapapun. Dengan harga berapapun.

Sebuah kutipan :

Dulu, saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur'an ketika berusia 3 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya AlQur'an
Dulu, saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika berusia 5 tahun, dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya perintah Allah
Dulu, saat anak-anak temannya telah hafal hadits Arba'in ketika berusia 7 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya Rasulullah
Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda.

Libatkan Anak Dalam Masalah

Seorang ayah yang fokus meng-aqil-baligh-kan anak-anaknya dengan prosentase biaya cukup besar dari pendapatannya, menyatakan baru bisa membeli mobil saat berusia 42 tahun, baru bisa membeli rumah saat berusia menjelang 50 tahun.

Generasi dewasa hijau perlu digerakkan hatinya, bukan hanya otaknya. Akal sehat tidak identik dengan kecerdasan akademis. Perilaku hijau adalah perilaku peduli pada sesama.

Salah satu caranya adalah dengan tidak menyembunyikan masalah dari anak. Masa baligh anak dapat dikendalikan dengan membantu orangtua menyelesaikan masalahnya. Pada masa kecil Rasulullah, ia adalah penggembala ternak. Beliau terlatih empatinya dengan memelihara binatang. Saat ini kita justru begitu alergi mendengar kata ‘gembala’ atau bahkan ‘bunda’. Padahal sebenarnya arti gembala itu adalah memuliakan, memakmurkan.

Jadi kurang tepat ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang menderita, kamu belajar saja yang rajin.” Mengapa sang ayah tidak mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya orang sukses hanya dari gelimang kemudahan.

“Supaya beban finansial cepat tuntas, fokuskan dengan meng-aqilbaligh-kan anak”.

Anak seusia SMP, misalnya, sudah bisa menjadi loper koran, membuka jasa servis tamiya, membantu sejumlah pekerjaan yang menghasilkan uang. Dengan demikian, anak akan tumbuh empatinya.

Setiap permintaan anak yang berhubungan dengan uang dapat dimulai dengan pertanyaan: “Berapa banyak uang yang sanggup kamu upayakan?”

Apapun yang anak minta harus 10% dari uangnya sendiri. Misalnya, seorang anak usia SMA minta dibelikan sepeda motor. “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10% uang sendiri.” Anak pasti akan berpikir. Jika yang 16 juta, harus ada 1,6 juta. Jika anak memilih yang 9 juta bisa jadi karena ia merasa mampu menyediakan 10%-nya. Ayahnya senang, anaknya senang.

Ada seorang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung kepada anaknya supaya menjadi ojek payung.

Ketika anak sudah memasuki usia aqil baligh, anak dikasih tahu. “Kamu ini sebenarnya sudah bisa Ayah suruh pindah dari rumah ini, tetapi sekarang masih boleh tinggal di rumah. Hanya statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur. Jadi tahu dirilah sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”

Ajari anak mencari uang, ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah. Anak mulai bisa diajarkan kemandirian saat usia diatas 7 tahun.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Yakinlah setiap anak sudah terlahir muslim. Itu sudah fitrahnya. Didik anak dengan penuh optimis, tidak perlu rekayasa. Jangan lupa untuk meminta kepada Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik anak-anak.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar