*MENDIDIK MANUSIA*
_Bagaimana menyadarkan anak untuk melakukan shalat atas kemauan sendiri, terutama bangun sendiri ketika shalat Subuh?_
Inilah pertanyaan yang kerap diajukan para AyahBunda di berbagai forum dan melalui berbagai media.
Ayahbunda, upaya intervensi perilaku dengan pendekatan behaviorism memang merupakan pendekatan tercepat dan mengagumkan.
Membuat anak tidak mengompol dengan behavioral treatment hanya butuh 3 kali, padahal kalau dengan pendekatan humanistic treatment butuh waktu 1 bulan.
Orang latah bisa diterapi secara behavioral dalam waktu 1 minggu (negative reinforcement) atau 1 bulan (positive reinforcement). Padahal, jika dengan pendekatan humanistic, bisa sampai 6 bulan.
Pertanyaannya, manakah yang _hasilnya lebih kuat dan menetap, lebih manusiawi, dan resiko kemanusiaannya paling minimal_? Manakah pendidikan yang lebih tersimpan dalam _behavior repertoire_ anak?
Pertanyaan paling mendasar adalah : apakah perilaku seorang anak adalah semata-mata sebuah *Sistem Mekanis* / Mesin (mechanistic system) atau sebuah *Sistem Humanis* / Manusia (humanistic system)?
Dalam konsep *behaviorism*, perilaku manusia hanyalah _pola stimulus-response_ semata. Mereka tak mengenal motif, hanya *tense* (tegangan) dan *drive* (dorongan). Itulah sebabnya mengapa pendekatan ini dianggap lebih efektif.
Namun, perilaku yang dibentuk melalui teknik behavioral _*hilangnya secepat terbentuknya*_. Apa saja yang telah dibentuk, dapat dihapuskan oleh orang lain dengan mudah.
Bagaimanapun, kualitas *outside-in* tidak akan sebaik *inside-out*.
Hal paling mendasar yang perlu dibahas adalah : *Apakah Manusia dan Fitrah itu*?
Dalam konsep behaviorism, jiwa itu bahkan dianggap tidak ada. Yang ada hanyalah perilaku. Karenanya, saat ini *Psikologi* _bukan_ lagi *Ilmu Jiwa*, tetapi *Ilmu Perilaku*.
Jadi, persepsi dan paradigma untuk hal ini sangat penting untuk diperhatikan dalam memahami pendidikan.
Jangan sampai kita membahas alam bawah sadar dengan menggunakan teknik behaviorism. Padahal, _behaviorism tidak mengakui alam bawah sadar_.
Apakah behaviorism akan menimbulkan kecenderungan anak cepat bosan pada sesuatu atau bosan pada hal-hal yang monoton?
Apakah hal tersebut juga akan berpengaruh pada rasa empati anak terhadap lingkungan sekitar?
_Prinsip pembelajaran dalam konsep behaviorism_ adalah _conditioning_, dilakukan diantaranya dengan cara mengulang-ulang.
Tentunya bagi manusia itu akan menimbulkan kebosanan. _Ketika manusia telah dijadikan mesin atau hewan, maka kemanusiaannya akan tumpul, termasuk empati dan kepekaannya terhadap lingkungan_.
Contoh behavior treatment : anak disuruh tidur di atas perlak anti ngompol dengan arus listrik rendah. Jika anak ngompol, kesetrum ringan. 3 kali kasus akan hilang ngompolnya.
Dalam *Pendekatan Humanis*, yang dilakukan adalah _menelusuri dulu penyebabnya_, mengapa anak ngompol : apakah anak stres, apakah ada masalah di saluran kemihnya, apakah perkembangan emosinya terlambat? Jika sudah ditemukan sebabnya, baru ditangani.
*Pendidikan Berbasis Fitrah* (humanis) berpegang pada *_asumsi_* bahwa *_manusia memiliki kesadaran dan pilihan_*. Mengubah perilaku manusia identik dengan _mengubah kesadaran manusia_.
Dalam konsep behaviorism, kesadaran tidak penting. Yang penting adalah mengubah dan membentuk kebiasaan, melalui pengulangan, relasi stimulus-respons, reward and punishment, dan sebagainya.
Dalam beberapa hal, konsep behaviorism masih bisa dipakai sebagai teknik, tetapi bukan sebagai metode, apalagi sebagai prinsip dan paradigma.
Contoh : anak berprestasi lalu dikasih hadiah, itu adalah behaviorism, dan boleh. Tetapi kalau hanya sebatas itu, dengan tidak ada hadiah ia tidak akan berprestasi.
Ada sebuah prinsip yang diterapkan, bisa karena biasa, biasa karena dipaksa. Apakah itu termasuk behavior?
Mari kita bedakan antara skill dengan competence. *Skill* adalah *ke-bisa-an* yang terbentuk dari *ke-biasa-an*. Dan "ke-biasa-an" memang harus dipaksakan.
Namun jika yang ingin kita bangun adalah *Competence*, seharusnya terbentuk karena terjadinya internalisasi. Sementara, *_internalisasi terbentuk dari kesadaran_*.
Paksa >> Biasa >> Bisa
Sadar >> Internalisasi >> Kompeten
Pernahkah kita mengajak anak piknik ke tempat yang sangat ia idam-idamkan? Apa yang terjadi?
Biasanya, besoknya, anak akan bangun pagi sebelum waktunya tanpa dibangunkan, bahkan mereka yang justru membangunkan kita? Boleh jadi semalam ia justru tak tidur.
Mengapa? Ya, karena cinta.
Jadi, begitulah gambarannya jika kita ingin agar anak bangun sebelum shubuh. Ini adalah fungsi iman yang melahirkan cinta. Ibadah yang ditakut-takuti tak akan melahirkan cinta.
Dalam proses mendidik anak, seharusnya kita hindari trauma pada anak di bawah usia 5 tahun. Trauma pada rentang usia ini cenderung mengendap.
Untuk mengurangi trauma, bisa dengan menceritakan hal-hal positif tentang hal-hal yang ingin kita ajarkan. Misalnya, mengajak anak ke dokter. Kaitkan dokter dengan hal-hal yang ia sukai (dokter dan coklat) dan hal-hal positif (mengobati, menolong, ramah, dsb). Ajak anak melintasi tempat praktek dokter (desensitisasi). Hindari mengasosiasikan dokter dengan, misalnya, jarum suntik.
Menghapus trauma pada usia ini hanya bisa dilakukan dengan terus-menerus memberikan pengalaman-pengalaman positif dengan kesadaran anak.
Dan yang terpenting adalah *Doa kepada Sang Pemilik Hati*.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء (إبراهيم ، 40)
“Robbij ‘alnii muqiimash sholaati wa min dzurriyyatii robbanaa wa taqobbal du’aa”
Artinya :
“Ya Robbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, ya Robb, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)
*Pendidikan Berbasis Fitrah* memang berangkat dari keyakinan bahwa _manusia memiliki titik kesadaran fitrah dan kapasitas internal yang cukup untuk bertindak atau berperan dengan baik_.
Saat ini masih banyak sekolah berlabel Islam, walaupun menggunakan Islam sebagai konten pengetahuan dalam pengajarannya, namun pendekatan pendidikannya sama sekali bertolak belakang dengan konsep fitrah.
Mereka masih menerapkan pendekatan "deficit based" bahwa manusia "kosong" , "lemah" tanpa potensi apapun sehingga harus banyak diintervensi, distimulus, dibiasakan/conditioning, diberi reward and punishment, di-"tangan besi"-kan dan sebagainya.
Beberapa sekolah berlabel Islam dengan bangga mengatakan telah menerapkan disiplin dengan ketat, sehingga berhasil mengeluarkan siswa-siswa "bermasalah".
Bukankah aneh jika ada lembaga pendidikan yang hanya mau menerima siswa baik-baik dan berprestasi? Bukankah lembaga pendidikan justru bertugas membuka jiwa dan kesadaran fitrah anak didik sehingga menjadi baik?
Semoga kita bisa kembali kepada *FITRAH*.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar