Kapten Kapal
Orangtua adalah kapten kapal. Anak-anak adalah penumpang kapal. Sayangnya, tidak selamanya posisi dan peran sebagai kapten kapal itu diterima dan dijalankan oleh orangtua. Mari perhatikan tiga contoh di bawah ini.
Dua Pengacara
Mama kerap bertengkar dan berbantahan dengan anaknya tentang berbagai hal. Mulai dari soal remah-remah makanan yang tercecer, jam menonton film yang melewati jatah, sampai soal membereskan mainan. "Koq kamu nonton terus sih? Ayo, matikan tevenya! Kalau tidak, besok nggak boleh nonton lagi hlo!." Dan anak menjawab dengan tangkas, "Kalau nggak boleh nonton, aku nggak mau makan!"
Orangtua berusaha memenangkan perdebatan. Anak pun tak kalah cerdasnya dalam mengalahkan orangtuanya. Orangtua yang terlibat dalam negosiasi dan pertikaian penuh kemarahan ini menyingkirkan perannya sebagai Kapten Kapal. Mereka lebih memilih peran sebagai pengacara. Maka anak-anaknya pun juga berubah peran sebagai pengacara. Posisi serta kekuasaan orangtua dan anak menjadi sejajar. Hasilnya? Tentu anak-anak sulit disiplin. Tanpa disiplin, prestasi maupun karakter anak-anak pun mudah rontok.
Anak yang Memimpin
Seorang Bunda sering mengeluh, "Gara-gara kamu nih, Bunda jadi marah-marah. Coba kalau kamu nurut, pasti Bunda nggak marah-marah!" Ia menyalahkan anaknya atas segala perasaannya. Ia membuat anaknya bertanggung jawab atas kemampuan dan ketidakmampuannya menjaga suasana hatinya.
Kalau orangtua terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa anak-anaknyalah yang membuatnya cemas, gelisah, jengkel, dan marah, maka anak-anaklah yang berkuasa. Anak-anaklah yang memimpin. Orangtua hanya bisa menggunakan ancaman dan sogokan agar anak-anak mau mengikuti perintahnya.
Penumpang kapal - anak-anak Anda - bukanlah Kapten Kapal. Kalau mereka berpindah posisi jadi Kapten Kapal, maka segunung persoalan sepanjang hidup akan tumbuh.
Orangtua Sebagai Kapten Kapal
Kalau orangtua menyadari sepenuhnya bahwa ia adalah Kapten Kapal, ia tak perlu berdebat, bertengkar, atau meyakinkan penumpangnya, baik dengan ancaman mapun sogokan bahwa dirinya adalah sang pemimpin. Orangtua juga tak perlu menyuap anak agar mereka menyukainya. Ia tahu peran-perannya dan mampu menjalankannya - dengan atau tanpa persetujuan anak-anaknya.
Akui dan dengarkan sudut pandang anak-anak, tetapi jalankan semua konsekuensi yang telah disepakati. Beritahu (atau ajak berdiskusi - bergantung usianya) anak apa yang akan terjadi jika mereka melakukan ini dan tidak melakukan itu. "Ya, kamu tiap pagi boleh menonton Pocoyo. Sehari sekali saja. Kalau kamu menonton lebih dari sekali, besok kamu tidak boleh menontonnya. Kalau kamu menonton cuma sekali, waktumu untuk bermain robot-robotan akan pas, tidak berkurang."
Apakah Anda sudah menjadi Kapten Kapal? DB
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D - Marriage & Family Therapist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar