ANAK MAMI
"Jangan sering memeluk anak, nanti anakmu jadi anak mami." Begitulah mitos disebarkan dan dipercaya.
Padahal, memeluk hanyalah salah satu cara menunjukkan rasa cinta kasih orangtua melalui tindakan yang lembut. Sentuhan antara kulit anak (dari bayi sampai dewasa) dengan kulit orangtuanya ini disebut juga skin to skin contact. Seringkali sentuhan kulit ini hanya terbatas pada kulit lengan saja dan mungkin kulit pipi. Itu pun hanya beberapa detik. Tetapi efeknya luar biasa. Anak-anak sungguh-sungguh merasa disayangi, dicintai. Terkenang terus sepanjang hidupnya. Bahkan rasanya, emosinya, tetap terasa sampai sekarang.
Mengapa? Ketika Anda memeluk anak, ada pikiran-pikiran positif di otak; ada perasaan-perasaan cinta, kasih; hormon-hormon kebahagiaan seperti serotonin, oxytocin, dopamine, endorphine, akan mengalir lebih deras; hormon-hormon itu mengatur berbagai metabolisme tubuh menjadi lebih baik; denyut jantung lebih teratur, kulit terasa lebih lembut, pori-pori lebih terbuka, seluruh indra menjadi lebih siap. Anda merasa bahagia. Anak merasa bahagia.
Perasaan bahagia itu seperti mengalir dari kulit orangtua ke kulit anaknya. Dan sebaliknya. Tentu ada maksudnya mengapa Tuhan memberikan ribuan ujung syaraf di permukaan kulit kita. Mengapa kita mesti menghindari mengalirnya rasa bahagia kita ke orang-orang yang kita kasihi? Mengapa mesti menyembunyikan perasaan bahagia kita? Mengapa menyembunyikan perasaan sayang dan cinta kita?
Karena tidak terbiasa. Ya, orangtua, berapa pun umurnya, entah baru akhir 20-an maupun sudah akhir 60-an, yang tidak pernah memeluk anaknya, yang jarang mengelus kepala anaknya, yang tak pernah menepuk-nepuk pundak anaknya, yang nyaris tak pernah mengelus-elus punggung anaknya, itu karena tidak tahu bahwa itulah cara-cara lembut menunjukkan rasa sayangnya, rasa bangganya, rasa percayanya. Mengapa tidak tahu? Ya, karena sewaktu kecil dan remaja pun, mereka tidak pernah merasakan bagaimana disayangi dengan lembut oleh orangtuanya.
Alah bisa karena biasa. Practice makes perfect. Tidak, bukan sekadar itu. Ada alasan yang lebih dalam lagi: seseorang yang tak punya "emotional attachment" dengan orangtuanya, juga akan kesulitan menjalin "intimate relationship" dengan pasangannya, dan ia juga akan terbata-bata dalam mengikat "bonding" dengan anaknya.
Ini gampang sekali terlihat. Silakan pergi ke tempat keramaian, seperti mall, dan Anda akan dengan gampang dan cepat menemukan pasangan istri-suami (mungkin perlu memahami bedanya kata "suami-istri," "pemuda-pemudi" dan "bapak-ibu." Atau istilah seperti "adik-kakak," "wanita-pria," "perempuan-lelaki," "nenek-kakek," dan "pasangan istri-suami") yang duduknya berjauhan di meja restoran, yang tidak bergandengan tangan, yang tak pernah bertatapan mata intens dengan pasangannya maupun anaknya.
Padahal, ikatan emosional yang sehat ini adalah modal untuk mewariskan sifat-sifat baik, modal untuk membentuk karakter kuat anak. Kelekatan emosional ini pula yang menjadi pondasi terbentuknya kesalingpercayaan diantara istri dan suami. Kemampuan untuk saling mencintai dan saling berbagi peran tidak akan tumbuh jika salah satu pihak tidak mampu menunjukkan rasa cinta kasihnya secara lembut.
Bagaimana mungkin suami bisa menggebu-gebu di atas ranjang dengan istrinya, tetapi tak pernah bergandengan tangan atau memeluk pundak istrinya? Karena ia tidak tahu bedanya nafsu dengan cinta. Bagaimana mungkin ia bisa mengelus-elus tubuh istrinya saat hendak bersenggama tetapi tak pernah mengelus lembut pipi istrinya saat duduk bersama minum teh atau kopi? Karena ia tidak tahu dan tidak pernah mengenal bahwa rasa cinta itu juga dapat diungkapkan lewat elusan lembut non-koital, non-seksual. Ringkasnya, ada banyak pasangan yang sering berhubungan intim secara seksual tetapi tak pernah mampu berhubungan intim secara emosional.
Dan karena tidak terbiasa mengungkapkan cinta kasih secara lembut, tak sedikit pula orangtua yang ketika marah kepada anaknya mengaku sebagai bentuk cinta. "Mama marah kepadamu ini karena Mama sayang kepadamu." Bahkan ketika melakukan kekerasan pun, seperti mencubit atau bahkan menonjok anaknya, masih juga mengatakan alasannya karena cinta. Tetapi bahkan memeluk anaknya saja tidak pernah, kecuali ketika mereka masih bayi. Padahal, anak mana yang tidak merindukan pelukan dan elusan orangtuanya saat ia masih bayi? Ya, itulah kebutuhan dasar anak: rasa dicintai.
Jadi, jika Anda berharap anak-anak Anda mampu menunjukkan rasa cintanya kepada adiknya, kakaknya, ibu dan ayahnya, serta kelak anak-anaknya, mulailah dari SEKARANG. Perbanyak dan persering skin to skin contact: memeluknya dengan kedua tangan (berhadapan), mengelus pipinya, berciuman pipi dengan pipi, mencium keningnya, mengelus kepalanya, menepuk-nepuk pundaknya, mengelus-elus punggungnya, mengelus-elus atau menepuk-nepuk punggung tangannya, memeluk pundaknya dengan satu tangan (berdampingan).
Biarlah anak-anak belajar bahwa ada banyak cara mengungkapkan cinta kasih. Biarlah anak belajar bahwa cinta kasih itu hanya dapat diungkapkan lewat kelembutan. Biarlah ia belajar membangun bonding atau emotional attachment yang sehat dengan orangtuanya, sehingga kelak ia mampu bersahabat, mampu menjalin hubungan emosional intim dengan pasangannya, dan akhirnya mampu menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anaknya secara lembut -- bahkan jika ia adalah lelaki. Kalau ia anak lelaki, biarlah ia mampu menjadi gentleman.
***
Lalu, apa hubungan pelukan dengan "anak mami?" Ya tidak ada. Itu hanya mitos. Itu kekeliruan berpikir.
Lho, tetapi itu banyak sekali anak-anak yang sering dipeluk orangtuanya koq jadi manja? Tidak mandiri? Lha ya itu tadi, itu cara mengambil simpulan yang salah. Tidak ada korelasinya walau dua gejala itu bisa sama-sama muncul.
Jadi, mengapa anak-anak yang kerap dipeluk itu jadi manja dan tak mandiri? Karena selain dipeluk, ia juga didominasi oleh ibu atau ayahnya.
Maksudnya didominasi?
Ya tidak dipercayai. "Kami percaya, koq! Kami sering mengatakan bahwa kami mempercayai mereka." Ya, dalam kata-kata. Bagaimana dalam perbuatan orangtua?
Perlu diketahui : "Membanjiri anak-anak dengan rasa cinta kasih TIDAK AKAN pernah membuat mereka menjadi manja atau tidak mandiri. Tidak akan menjadikan mereka "anak mami."
Penyebab anak manja dan tak mandiri bukan karena terlalu banyak dipeluk dan disayangi, tetapi karena tidak dipercayai. Tidak dipercayai untuk sanggup melakukan apa pun yang sudah mampu dilakukannya sendiri. Sudah bisa makan sendiri, masih disuapi. Sudah bisa menyiapkan perlengkapan sekolah, masih juga ditolong. Sudah mampu mengerjakan PR sendiri walau ada beberapa yang salah, masih juga dibantu menjawabnya -- entah dijawab oleh orangtua atau oleh guru les. Sudah mampu sendiri mendapat nilai 7 untuk pelajaran tertentu, eh masih juga dibantu dengan dileskan ini dan itu agar nilai rapornya menjadi 9 atau 10. Sudah bisa menyicil membeli hape, masih juga dibelikan orangtuanya. Sudah bekerja dan punya penghasilan, masih juga diberi uang bulanan dan disediakan mobil oleh orangtuanya. Sudah bisa memilih dan membayar makanan sendiri, masih juga dipilihkan dan dibayari orangtua ketika makan bersama di restoran. Sudah punya rumah tangga sendiri, eh mamanya masih sering main ke rumah anaknya dan intervensi urusan rumah tangga mereka. Sudah mampu punya anak, eh dibiarin terus setiap hari menitipkan anaknya ke nenek-kakeknya.
Ya, anak mami terjadi karena Anda mendominasi kehidupan anak Anda. Anda tidak membiarkan dan tidak mempercayai mereka untuk terantuk, tersandung, untuk masuk ke lembah kehidupan.
Anda punya pengharapan tidak realistis: bahwa kehidupan anak mesti di puncak terus. Maka, sejak kecil, Anda mungkin membanjiri mereka dengan pelukan, tetapi lebih banyak lagi Anda membanjirinya dengan hadiah. Tiap pulang kantor, Anda membawa oleh-oleh dan mainan. Tiap kali pergi ke mall, mereka pulang membawa setumpuk mainan. Anda membiarkan "keinginan" dan impuls anak-anak meraja. Anda memuaskan segala macam keinginan mereka. Anda membanjiri mereka dengan barang dan hal-hal yang tidak mereka butuhkan. Sebaliknya, Anda malah tidak memberikan kebutuhan dasar mereka: rasa dicintai, rasa dipercayai.
Para anak mami inilah yang kelak ketika dewasa akan terus menyalahkan orang lain dan lingkungan jika terjadi derita, duka, nestapa pada hidupnya. Kalau bisnisnya ambruk, ia salahkan presiden yang membuat kondisi ekonomi makro menurun. Kalau ia kepanasan, ia salahkan stafnya yang lupa membersihkan AC. Kalau ia berselingkuh, istri atau suaminyalah yang salah karena menuruti keinginannya. Jika ia tergoda akan perempuan atau lelaki, ia salahkan semua perempuan yang memakai rok mini atau lelaki yang perutnya six packs. Kalau ia tergoda untuk makan, ia salahkan semua restoran yang tidak menutupi parasnya dengan tirai.
Ya, mereka itu adalah para "anak mami," orang-orang yang berkepribadian dependen, bergantung.
Baiklah mari kita kembali ke soal hubungan berpelukan dengan anak mami: anak dependen terjadi karena anak-anak -- berapa pun umurnya -- diberikan sesuatu yang TIDAK MEREKA BUTUHKAN. Anak mami terbentuk dari "nyaris setiap permintaan atau keinginan mereka dipenuhi."
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar