Selasa, 01 Januari 2019

Tambatan Hatiku telah Pergi

Pernahkah kalian merasa bahagia dalam lingkungan rumah tangga, hidup nyaman  bersama dengan seorang suami yang sabar, sholeh, tampan lagi penyayang?

Iya, saya pun pernah merasakannya setelah saya menikah dengan suami yang sholeh dan tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berbentuk petak. Alhamdulillah kami dikaruniai 3 jagoan kecil, lincah, lucu dan sangat menyenangkan sekali. Berjalannya waktu, kami mulai menabung sedikit demi sedikit untuk mewujudkan cita-cita kami berdua agar bisa memiliki rumah sendiri yang jauh lebih besar.

Saat itu suamiku sebagai kepala rumah tangga bekerja disebuah Perusahaan  BUMN ternama di kota Jakarta dan aku sendiri sebagai ibu rumah tangga yang sibuk mengurus suami dan anak-anak di rumah.

Kebahagiaanku lahir dari rasa syukurku karena Allah SWT sudah memberiku jodoh yang terbaik untukku, memberiku tiga anak dan alhamdulillah rezeki yang selalu cukup.

Meski kadang kenyataan tak seindah impian. Ada juga badai yang harus kami hadapi disepanjang perjalanan biduk rumah tangga yang tak mungkin bisa kita hindari karena adanya perbedaan pendapat antara saya dan suami. Akan  tetapi hal itu masih bs kami lalui dengan keyakinan bahwa bertengkar adalah salah satu cara komunikasi khususnya untuk kami dalam menyatukan dua hati yang berbeda. Dengan catatan selama pertengkaran itu semata-mata kearah menuju kebahagian lahir dan batin dalam satu ikatan cinta kasih sayang yang saling mendewasakan.

Suka duka kami lalui bersama selama masa pernikahan di 5 tahun pertama. Seperti halnya perbedaan pendapat, visi dan misi dalam mewujudkan kebahagiaan dalam perkawainan antar dua insan yang berbeda usia, berbeda latar belakang, serta situasi yang kadang menguras emosi dan air mata namun berujung bahagia. Kuncinya hanya satu yaitu kata SALING. Saling adaptasi, saling memahami dan saling introspeksi diri serta saling mensupport apapun yang di lakukan oleh pasangan kita dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Kebahagiaan hidup itu tak bisa di beli tapi bisa diciptakan dengan adanya rasa syukur. Dan aku sangat bersyukur sekali memiliki seorang suami yang sabar, tampan, sholeh lagi penyayang, ditambah karunia Allah berupa tiga malaikat kecilku yang bernama Rio, Tio dan Leo. Kehadiran mereka bertiga semakin menambah kebahagiaan dalam rumah tangga yang aku nikmati bersama suami tercinta.

Jagoanku yang pertama sudah minta sekolah, padahal waktu itu baru berumur dua tahun lebih dan ayahnya menyetujuinya untuk masuk ke Playgroup. Jadi setiap pagi ayahnyalah yang dengan senang hati selalu mengantarkannya pergi kesekolah sekaliyan berangkat kerja. Bgitu setiap harinya sampai anakku yang pertama naik ke kelas TK A. Setiap hari sayalah yang menjemput anak pulang sekolah, kami selalu menyanyikan lagu anak-anak dilanjutkan latihan menghafal Al-Qur'an terutama Juz'amma. Hidupku menjadi terasa sempurna.

Wahai kawan.... katanya roda bumi ini  selalu berputar, kadang diatas dan kadang di bawah. Kadang kita bahagia dan kadang ada air mata.

Pernahkah kalian menangis dan sedih karena beban beratnya hidup yang harus dilalui ?
Pernahkah kalian menangis dan berlinang airmata dan merasa tak berdaya?
Pernahkan kalian menangis, merasa berputus asa dan hampir menyerah?

Saya pun pernah mengalaminya, disaat-saat seperti itu. Tepatnya saat kepergian almarhum suami yang selama ini menjadi tambatan hati. Sedangkan anak-anak masih di balita halus dan lembut-lembutnya. Masih butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. 

Malam itu tak ada angin tak ada hujan, suamiku tiba-tiba sakit dan mengeluh.  Merasa capai dan lelah dengan nafas yang berat. Sementara tak banyak yang bisa aku lakukan kecuali membawanya ke rumah sakit. Berharapan besar suami sgera mendapatkan pertolongan dan kondisinya lekas pulih agar bisa pulang ke rumah dalam keadaan sehat kembali seperti sediakala.

Tapi.... Kesehatan suami malah semakin memburuk. Pagi itu dipindah keruang ICU untuk mendapatkan pertolongan yang lebih intensif. Baru hari ketiga, namun ternyata Allah lebih sayang padanya. Saat itu dunia terasa runtuh, awan terasa gelap dan bumi terasa berhenti berputar. Airmataku pecah tak tertahankan lagi. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kesedihan seorang istri yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya untuk selama-lamanya.

Setahun dua tahun kujalani hidup bersama dengan ketiga putraku tanpa seorang imam dalam rumah tanggaku. Membesarkan dan menyekolahkan mereka sekuat dan semampuku. Sekarang adalah tahun kesebelas di mana aku memilih tinggal di kota Depok.  Menjadi single parent merawat anakku dengan sepenuh hati dan cinta kasih sayang meski dalam ketidaksempurnaan, karena kita semua tidak akan pernah tahu kapan waktu untuk kita berhenti, kenangan-kenangan indah tidak akan terulang lagi.

Keseharian seorang ayah yang selalu mengantarkan anak-anaknya tidak lagi  tampak dalam pandangan mataku. Keceriaan hidupku tak seperti dulu lagi.

Banting tulang mencari nafkah seorang diri sudah menjadi rutinitas dalam keseharianku. Menyekolahkan anak dan menghidupi mereka adalah tanggung jawabku sebagai ibunya. Tumbuh kembang anak bukan hal yang bisa ditunda apalagi diulang, itulah sebabnya aku memilih hidup mandiri dikota ini bersama mereka bertiga, sehingga jika sewaktu-waktu anakku membutuhkanku maka aku akan selalu ada di dekatnya.

Alhamdulillah sedikit demi sedikit saya mulai bangkit. Mulai dari pekerjaan mengajar privat anak-anak SD sampai SMP,  Membangun usaha kecil-kecilan termasuk jualan online. Alhamdulillah semua berjalan dengan penuh pembelajaran bagiku. Biarpun modal usaha saya ini kecil tapi yang paling penting bagiku adalah rezeki halal. Aku yakin Allah selalu menolongku seperti yang di jelaskan dalam kitab suci Al-Quran bahwa karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabiala kamu telah selesai dari sesuatu urusan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.
Qs. Ash-Sharh (94) ayat:  5-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar