Kamis, 29 Desember 2016

Bunda Teladan

.

Suatu hari, di media sosial, tercantum status seorang bunda. Beliau banyak menjadi rujukan sebagai Bunda Teladan yang anak-anaknya hafal alQuran. Statusnya adalah "...alhamdulillah anak saya yang hafal alQuran sekarang sudah tamat dari PTN, mohon doanya agar segera diterima bekerja".

Sepintas, status ini baik-baik saja. Namun, marilah kita kaji lebih dalam. Sejatinya, pemuda yang hafal alQuran, apalagi bisa menempuh kuliah di PTN, seharusnya punya manfaat lebih banyak dari mereka yang tidak seberuntung dia. Bahkan, dengan kedua keunggulannya itu, pemuda itu layak dan pantas jika sudah tidak lagi mencari pekerjaan namun melahirkan banyak karya sehingga mensejahterakan banyak orang. Bagaimana kenyataannya?

Jika kita kaji lebih mendalam, setidaknya ada beberapa penyebab mengapa ilmu agama dan ilmu dunia kemudian hanya mampu membuat seseorang terpelajar namun tidak tercerahkan dan tidak bermanfaat bagi sesama :

1. Ukuran Sukses adalah Status atau Gelar. Status lebih penting dari Amal.

Ilmu agama dan ilmu sains dikuasai hanya sebagai status sosial atau gengsi. Status sholeh dan atau status berilmu. Ada kebanggaan yang tinggi bagi sebagian keluarga Muslim jika anak-anak bisa berstatus sholeh dengan simbol-simbol berupa jumlah hafalan alQuran, jumlah gelar dsb. Tentu saja, menghafal alQuran atau menjadi sarjana adalah hal yang baik, tetapi tak perlu dijadikan status keshalehan dan status kesuksesan.

Ada masalah mendasar yang dilupakan bahwa sholeh bukan status, sholeh adalah amal.  Ilmu atau pengetahuan sesungguhnya bukan untuk dikuasai namun untuk semakin menjadi diri dan menjadi semakin bermanfaat. Sebaik-baik ilmu adalah yang bermanfaat bagi kaumnya, begitu menurut imam Ghazali. Jadi Ukuran keshalehan dan keilmuan seseorang adalah bukan seberapa banyak, tetapi seberapa manfaat.

2. Keputusasaan dan Ketidakpercayaan Diri.

Ummat mengalami inferior complex. Sejak kekhalifahan dan negeri-negeri Islam kalah perang, peradaban Islam runtuh, umumnya pendekatan kebangkitan Islam dibangun dalam kerangka ketakutan dan persaingan. Umat Islam umumnya merasa takut pada barat dan merasa tidak sanggup menyaingi sisi dunia. Kombinasi dua ini menyebabkan pola mendidik anak-anak Muslim adalah membentengi, memagari dan menghindari duniawi. Sterilisasi dan Amputasi adalah pilihan orang-orang inferior. Akibatnya adalah lahirnya generasi yang sangat rentan untuk dimurtadkan/meninggalkan syariah ketika dewasa dan generasi yang rentan ditunggangi untuk menjadi teroris.

3. Split Personality dan Split Society.

Kepribadian yang membelah baik individual maupun komunal. Rajin haji, rajin bangun masjid namun giat korupsi, backing peredaran narkoba dsb. Rajin ke masjid namun rajin menggasak uang rakyat, nampak berbeda tampilan dan bicaranya di depan publik dan di depan kongsi-kongsi mafianya.

4. Budaya Malu tumbuh bukan karena malu pada Allah, tetapi malu kalau tidak kaya sehingga rela korupsi, malu atau gengsi kalau anaknya tidak di boarding school, malu kalau ketahuan korupsi sehingga rela menghalalkan segala cara. Jadi sepanjang tidak ketahuan korupsi maka apapun kesalahan yang dilakukan adalah benar. Jika ketahuan maka akan berupaya berbohong atau menghalalkan apapun demi rasa malu dan gengsi di masyarakat.

5. Sibuk pada persaingan atau pacuan yang tidak kemana-mana. Anak-anak digegas, dipacu, dijejalkan banyak pengetahuan agama maupun pengetahuan umum, namun gagal membangkitkan fitrah anak-anaknya, gagal mengembangkan potensi-potensi unik anak-anaknya dan juga potensi unik daerahnya. Umat bagai berada di rumah peternakan yang dipacu agar makan sebanyak-banyaknya namun hanya untuk disembelih atau menjadi budak-budak modernisasi.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar